Peranan Speleologi Dalam Fenomena Karst *

June 5th, 2010  |  Published in Entrance  |  2 Comments

Seminar Peduli Lingkungan Hidup 2010, Banda Aceh 3 Juni 2010

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Daerah karst di Aceh seperti kawasan Mata Ie Kecamatan Darul Imarah dan Kawasan Naga Umbang Kecamatan Lhok Nga memang menunjukkan daerah kering kerontang. Hal ini diyakini merupakan salah satu alasan mengapa kawasan ini dianggap sebelah mata dan tidak layak untuk dilestarikan. Banyak pihak juga menganggap kawasan ini merupakan kawasan bahan baku semen atau galian c saja. Padahal kawasan yang diartikan sebagai kawasan batu gamping yang telah mengalami karstifikasi ini bernilai strategis yang tinggi pada kehidupan manusia. Salah satu nilai strategis kawasan karst tersebut adalah sumber air di masa depan.

Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral-Direktorat Tata Lingkungan Geologi dan Kawasan Pertambangan, sejak tahun 1995 telah melakukan kegiatan pengeboran air tanah dalam rangka penyediaan air bersih untuk masyarakat di pedesaan dan daerah sulit air bersih. Kebanyakan lokasi-lokasi tersebut terletak di daerah karst, seperti Gunung Kidul, Wonogiri, Pacitan, Tulung Agung, Tuban, Pulau Lombok dan Pulau Timor. Pemerintah Kabupaten Wonogiri pernah bekerja sama dengan ahli karst dan speleologi untuk mencari dan memanfaatkan air karst sebagai usaha untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia.

Pendekatan ilmu-ilmu tersebut diterapkan untuk meyelidiki permukaan daerah karst (eksokarst) dan di bawah permukaan daerah karst (endokarst) yang bertujuan untuk memanfaatkan dan konservasi air daerah karst. Geologi sebagai penopang ilmu karstologi diharapkan dapat menyimpulkan faktor utama timbulnya suatu kawasan karst yaitu melalui proses pelarutan batuan. Speleologi memiliki peranan dimana pelarutan ini akan menyebabkan timbulnya ruangan-ruangan di bawah tanah yang dikenal sebagai gua atau sistim perguaan.

Beberapa inisiasi kerja sama telah dilakukan untuk menelusuri secara fisik lebih dari 150 gua, mendata 250 sinkhole, 372 danau karst, dan pelacakan air karst dengan melibatkan ahli karstologi dan speleologi seperti TC Atkins, AC Walthem, PL Smart, H Frederich, AJ Eavis. Sampai saat ini masyarakat kawasan Gunung Sewu dilaporkan sangat tergantung dengan air pada kawasan Karst Gunung sewu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Ketergantungan ini mengharuskan masyarakat kawasan untuk mempertahankan keberadaan Karst Gunung sewu. Berdasarkan permasalahan tersebut, tulisan ini bertujuan untuk memberikan informasi kepada pihak-pihat terkait mengenai nilai penting kawasan karst pada kebutuhan hidup manusia dan penerapan ilmu-ilmu yang mendukung pelacakan air dalam rangka memenuhi ketersediaan air bagi masyarakat di masa depan.

DISKUSI
Hidrologi Kawasan Karst
Kondisi air tanah pada batuan karst sangat rumit dan unik dan tidak bisa disamakan dengan kondisi air tanah pada batuan antar butir atau celahan. Pada suatu kawasan karst, batu gamping karst pada umumnya bertindak sebagai akuifer utama yang dialasi oleh batuan kedap air, sehingga semua hydrolic event seperti imbuhan, keluaran, dan aliran air tanah akan berlangsung pada batu gamping karst tersebut dengan karakter yang khas. Keunikan hidrologi kawasan karst ini sebenarnya dapat dipahami dengan mengetahui beberapa tipe sumber air karst di daratan, adapun tipe sumber air karst tersebut adalah:

1.    Gravity fed spring (Free flow spring)
Biasa didefinisikan sebagai bentuk yang terlihat sebagai sungai yang keluar dari gua atau celah. Ada dua bentuk dari gravity fed spring yaitu resurgence dan exurgence. Apabila sungai tersebut merupakan munculnya kembali aliran sungai permukaan yang dibagian hulunya telah menghilang dan keluar melalui celah atau gua disebut dengan resurgence atau exogenous spring. Sedangkan suatu gravity fed spring yang disebut dengan exurgence, bila sebagian besar atau seluruh airnya berasal dari tetesan air perkolasi dan kondensasi internal karst itu sendiri. Nama lain untuk exurgence adalah karst waterspring.

2.    Flood overflow spring
Bentuk ini didefinisikan sebagai sumber air sewaktu hujan. Kawasan ini merupakan variasi tipe I yang airnya mengalir keluar hanya pada saat hujan lebat. Lorong bawahnya dicirikan dengan tidak dapat menampung air surplus, dan tidak ditemukan aliran air vadosa pada lorong atas gua.

3.    Vauclusian Spring (Spring rising under hydrostatic pressure)
Biasa disebut dengan sumber air artesis. Air kawasan ini muncul keluar dari reservoir air yang biasanya besar. Lorong yang dilalui air ini biasanya curam. Air pada kawasan ini lorongnya berbentuk silindris, berdinding batu gamping, dan air yang keluar dapat terlihat melalui lapisan alluvium atau pasir yang menutupi lorong di bagian atasnya. Tipe ini sering dijumpai di daerah tropik dimana banyak vegetasi dan alluviumnya.

4.    Intermittent Spring (Periodic spring)
Bentuk ini biasa disebut dengan sumber air periodik. Sumber air ini timbul karena adanya lorong-lorong irreguler dan sifon-sifon di balik sumber air. Sumber air tipe ini kadang-kadang hanya akan mengeluarkan air secara periodik bila debit airnya cukup besar, sewaktu turun hujan. Pada debit air yang kecil, air dapat mengalir seperti biasa secara terus menerus.

5.    Estavelles
Bentuk ini biasanya ada di daerah alluivial yang dialiri masuk oleh sungai pada waktu hujan lebat. Bentuk ini dapat berubah menjadi sumber air menyerupai tipe II sehingga air yang keluar lebih cepat daripada air yang masuk. Ciri utamanya dapat dilihat dengan adanya Swallow holes yang saling berganti dengan swallow holes lainnya menjadi sumber air, terutama yang terdapat di polje.

Pelacakan dan Analisis Air Kawasan Karst
Pemahaman perilaku air tanah pada suatu kawasan karst, terutama mengenai keterdapatan, penyebaran, dan pengaliran air tanah, merupakan dasar pertimbangan bila akan dilakukan perubahan pemanfaatan lahan di daerah karst. Hal ini dapat memperkecil dampak negatif yang akan timbul terhadap lingkungan terutama pada kondisi air tanah. Kondisi air tanah ini banyak dipengaruhi oleh kegiatan penambangan batu gamping untuk semen, perubahan daerah resapan, pengambilan air tanah, dan penurapan mata air.  Untuk meminimalkan kerugian ini hendaknya penentuan dan pemanfaatan suatu kawasan dikaji dengan baik dan memikirkan kepentingan kebutuhan hidup yang sifatnya trans generasi. Sumber-sumber air karst sudah secara rutin dianalisis di beberapa negara maju. Analisis yang dilakukan secara umum adalah pH, warna, kekeruhan, bahan organis yang terkandung di dalamnya, suhu, dan bahan non kalsium di dalamnya.

Setelah mengetahui hidrologi karst seperti mengetahui dimana ada sumber-sumber air, baik di musim kering maupun di musim hujan, dapatlah kita melakukan usaha pelacakan air karst untuk mengungkap pola drainase karst kawasan karst tersebut. Pelacakan air (water tracing) itu dapat dilakukan dengan pelacakan air yang memakai zat warna, penyelidikan susunan kimiawi air, perubahan fisik dari volume dan suhu, dan pelacakan dengan menggunakan isotop radioaktif. Pelacakan ini dilakukan mulai dari tempat air mengalir masuk (inlet) sampai air mengalir keluar (outlet). Metode palacakan air dengan zat warna ialah metode yang paling tua dan masih sering digunakan.

Persayaratan yang dibutuhkan untuk bahan pewarna pelacak air itu antara lain: harus mudah larut, baik dalam keadaan asam maupun basa, tidak boleh terabrsorsi oleh kalsium karbonat, tidak bersifat racun baik bagi manusia maupun binatang, tidak berbau, pasti dapat ditemukan kembali, dapat dilihat pada konsentrasi yang rendah, tidak menyebabkan tanah atau lumpur berkoagulasi, murah dan mudah diperoleh.

Bahan yang paling sering digunakan adalah fluorescein yang merupakan bahan organis yang berfluoresensi kehijau-hijaun bila terkena cahaya dalam larutan, zat warna ini dapat dideteksi pada laruatan 1: 40 juta, bahkan dalam keadaaan pengenceran 1:100 juta. Hingga kini zat uranin (natrium fluorescein) masih banyak digunakan. Pemakaian jenis pelacak ini sering juga dikombinasikan dengan activated charcoal. Kombinasi ini meningkatkan efektivitas pelacakannya untuk pengenceran yang jauh lebih besar masih dapat ditrasir.

Di Amerika Serikat dan Rusia digunakan radioactive tracers. Bahan jenis ini yang biasa digunakan ialah Tritium (H3) yang terikat pada oksigen membentuk air berat yang radioaktif. Namun, penggunaannya masih belum banyak dilakukan karena dikhawatirkan dapat mengkontaminasi sumber-sumber air minum. Bahan lain yang juga sering digunakan adalah Rhodamine B yang merupakan zat warna organis yang juga dapat dikombinasikan dengan activated charcoal. Jenis rhodamine yang sering digunakan adalah Pyranine. Pyranine ini berbentuk bubuk kristal dan dikenal sebagai arylsulfonates yang larut dalam air dan bersifat hidrofilik, dan merupakan pH-indicator.

Metode lainnya adalah menggunakan spora dari Lycopodium clavatum. Spora ini dapat bergerak hampir secepat air. Kecepatan gerak spora ini lebih cepat daripada pergerakan fluorescein dan Rhodamine B. Diameternya sekitar 30 mikron. Kerugian dari metode ini yaitu sporanya amat kecil hingga dapat difiltrasi oleh tanah, harganya empat kali fluorescein dan dibutuhkan banyak waktu untuk mempersiapkan, koleksi, dan analisisnya harus dilakukan di laboratorium.

KESIMPULAN
Kawasan karst bernilai strategis yang tinggi pada ketersediaan air di masa depan. Pemahaman hidrologi kawasan karst merupakan dasar pertimbangan bila akan dilakukan perubahan pemanfaatan lahan di daerah karst. Hal ini dapat memperkecil dampak negatif yang akan timbul terhadap lingkungan terutama pada kondisi air tanah. Setelah mengetahui hidrologi karst baik di musim kering maupun di musim hujan, dapatlah kita melakukan usaha pelacakan air karst untuk mengungkap polanya untuk memanfaatkan air karst secara baik dan benar. Pelacakan air yang biasa dilakukan adalah dengan pelacakan air yang memakai fluorescein (zat warna), activated charcoal, bahan radioaktif seperti Tritium (H3), Rhodamine WT, Pyranine, dan spora Lycopodium clavatum. Bahan-bahan pelacak air ini mempunyai kelebihan dan kekurangan baik dari biaya, preparasi, dan juga analisisnya.

DAFTAR PUSTAKA

  1. Anonymous, Zona Kawasan Karst Kabupaten Wonogiri, Kerjasama antara Bappeda Kab. Wonogiri dan Fak. Geografi UGM, 2002
  2. Hanang Saniodra, Nilai Strategis Kawasan Karst di Indonesia, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Publikasi Khusus    Nomor 25, Juni 2001.
  3. Hendri Setiadi, Upaya perlindungan air tanah karst untuk lokasi rencana penambangan batu gamping, Departemen pertambangan dan energi Direktorat jendral Geologi dan Sumber Daya mineral, Direktorat Geologi Tata lingkungan, Bandung 1999.
  4. Hendri Poloc dkk, Flydrogeology of Selected Karstt region, International Association of hydrogeologists, Volume 13, 1992.
  5. Mijatovic, B.F., Hydrogeology of Dinaric Karstt, International Association of hydrogeologists, Volume 4, 1984.
  6. Djaendi, Potensi Air Tanah Dan Geowisata Kawasan Karst, Workshop Nasional Kawasan Karst-Wonogiri. Direktorat Tata Lingkungan Geologi Dan Kawasan Pertambangan Direktorat Jenderal Geologi Dan Sumber Daya Mineral Departemen Energi Dan Sumber Daya Mineral, 2004.
  7. Hill, AC. Cave Minerals. National Speleological Society, 1976.
  8. Jennings, JN. Karst. The MIT Press, 1971.
  9. Ko, RKT. Geohidrologi Karst, Denudasi Karst, Konservasi Karst. Koleksi pribadi, 2000.
  10. Moore GW, Nicholas G, dan Health DC et. al. Speleology, 1964.
  11. Nasution, AI.  Karst dan Air di Masa Depan. www. karstaceh.com. Published in Entrance. April 29th, 2010
  12. Sweeting, MM. Karst Landforms. Columbia University Press New York, 1973.
  13. Walthem AC et.al. Gunung Sewu Cave Survey, 1982.

Responses

  1. imam says:

    October 6th, 2010at 4:35 am(#)

    sumber air berat dimana nih

  2. mai warman says:

    April 19th, 2011at 2:08 am(#)

    ilmu yg meninspirasi…kami dan kawan2 ASC kembali Bekerjasama dengan warga sukolilo untuk menolak pabrik semen di karst bukit kendeng

Leave a Response

You must be logged in to post a comment.