Catatan Dari Rencana Kontinjensi Gunungapi Seulawah Aceh

November 28th, 2011  |  Published in Anchor  |  2 Comments

Catatan Penting Penyusunan Rencana Kontinjensi Letusan Gunung Api SeulawahTerdapat 4 catatan Penting yang harus diperhatikan oleh pemangku kepentingan dalam Penyusunan Rencana Kontinjensi Letusan Gunung Api Seulawah yang dilaksanakan oleh Badan Penanggulangan Bencana Aceh dan difasilitasi oleh Forum Pengurangan Risiko Bencana Aceh 18-22 November 2011.

SATU: DATA ADALAH PERANGKAT PENTING
Peta Kawasan Rawan Bencana dibutuhkan dalam perencanaan untuk memprediksi dampak.  Oleh karena itu perlu dilakukan verifikasi peta dan kepastian beberapa kawasan tersebut berdasarkan kenyataan di lapangan. Beberapa data-data yang ada tidak dapat dipertanggungjawabkan dikarenakan kurang optimalnya koordinasi dan komunikasi panitia dengan perwakilan yang ada. Peserta yang diharapkan merupakan tatanan manajerial, sebagian besar bukan pemangku kebijakan, sehingga ketiadaan data yang seharusnya dapat diminimalisir memberi dampak pada ipertanyakannya kevalidan semua data yang ada.

Panitia termasuk fasilitator tidak siap untuk mengelola workshop yang akan menghasilkan Rencana Kontinjensi, seperti dalam penyediaan materi yang seharusnya dapat mempersempit kesenjangan pemahaman dasar peserta/ perwakilan instansi atau lembagayang hadir.

Penentuan bahaya tidak selesai, ini dprediksi akan berdampak luas pada kebijakan dan strategi yang tidak sistematis. Kebijakan dan strategi lebih kepada asumsi dan pengalaman satu dua pihak saja. Keterlibatan pihak lain tidak terakomodir oleh karena sistim fasilitasi yang memang tidak sistematis. Kebijakan umum upaya kontinjensi adalah upaya pada rangkaian penentuan status, penentuan tingkat bencana, upaya minimum yang dilakukan dalam keadaan darurat, alokasi tugas dan pelaku, serta penganggaran.

DUA: KETIADAAN SISTIM INFORMASI DAN KOMUNIKASI 
Imbas dari tidak sistematisnya kebijakan dan strategi upaya kontinjensi ini adalah tidak adanya profil penting seperti spesifikasi keterlibatan para pihak menyikapi kebijakan dan strategi dalam struktur yang jelas, spesifikasi kerangka kerja para pihak, penentuan status evakuasi (EWS), pemilihan tempat pengungsian, dan  pilihan-pilihan lain yang dapat ditampung dari perwakilan kecamatan, mukim, dan desa.

Penentuan waktu malam dan masa tanggap darurat selama satu bulan tidak disertai dengan pemahaman, pengetahuan, dan perencanaan yang mengadospi dua garis besar sumber yaitu ilmiah dan lokal. Ilmiah dalam pengertian bahwa belum dipenuhi unsur-unsur perencanaan penentuan status yang baik adalah bersifat akurat, dipahami, dapat dijangkau, dan dipatuhi. Penentuan satu bulan tidak disertai dengan gambaran kekuatan penganggaran yang dapat dialokasikan dalam kebijakan dan strateginya. Unsur pemulihan yang diusulkan seharusnya dapat diakomodir untuk menyikapi kesenjangan yang seharusnya sudah ada sebelum ditentukan kebijakan dan strateginya, untuk usul struktur yang seharusnya ada, telah dibuatkan sebuah pendekatan fasilitasi yang dipersiapkan dengan baik.

TIGA: KEBUTUHAN ATAS STRUKTUR DAN  KOORDINASI
Struktur organisasi komandan kedaruratan yang seharusnya dapat memfasilitasi kebijakan dan strategididapatkan tidak final dan cenderung sektoral, dikarenakan sounding yang dilakukan tidak maksimal. Dengan alasan minimnya waktu yang dibutuhkan dan peserta ebagian besar bukan merupakan tatanan manajerial di instansinya. Sesuai dengan perkiraan sebelumnya, penentuan ini pada akhirnya berdasarkan asumsi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah maupun partisipatif. Ini jelas terlihat hingga hari ketiga masih mempermasalahkan dampak, titik aman, titik pengungsian, alokasi tugas dan pelaku. Celakanya, para pihak yang merupakan perwakilan desa merasa mereka bukanlah sebagai pelaku aktif dalam struktur kedaruratan melainkan hanya sebagai korban letusan gunungapi yang seharusnya dilayani.

EMPAT: MERUGIKAN SINKRONISASI DAN HARMONISASI
Pada akhir acara dilakukan analisis kesenjangan dengan membagikan form untuk diisi oleh peserta. Ini sangat bertolak belakang dengan prinsip pengurangan risiko bencana berbasiskan masyarakat yang merupakan pendekatan yang selama ini dikenal sebagai pendekatan yang lebih komprehensif. Waktu yang tersedia masih cukup banyak . Tindakan ini sangat merugikan sinkronisasi dan harmonisasi yang merupakan konsep penting dalam sebuah dokumen rencana kontinjensi.

Karst Aceh 2011

Responses

  1. iskandar Ramli says:

    November 29th, 2011at 3:35 am(#)

    Catatan yang menarik, saya lebih melihat kesisi pembelajaran yang bisa diambil. ada beberapa point dari saya secara pribadi antara lain perlunya penekanan paradigma penanggulangan bencana kalau kita tidak menekanan di point tersebut, masyarakat menganggap mereka sebagai korban akan tetap terjadi sehingga mereka tidak mau melaksanakan tetapi hanya menerima

    wassalam

  2. Admin says:

    December 5th, 2011at 3:02 am(#)

    benar sekali pak is, peran masyarakat sangat besar dalam semua tahapan penanggulangan bencana. Menurut saya semua pihak baik itu teknokrat,masyarakat, dan legislatif juga HARUS berperan dalam kerangka kerja pengurangan risiko bencana yang notabene penekanan variabel kapasitas tentunya

Leave a Response

You must be logged in to post a comment.