Antara Jepang dan Aceh
October 24th, 2012 | Published in Anchor
Penanganan tsunami Jepang (juga) bermasalah
Ada hikmah menarik ketika Organisasi dari Jepang yaitu Tono Magokoro Net berkunjung ke Aceh. Dalam kunjungan yang di ketuai oleh representatif organisasi ini, Kazuhiko Tada mereka mengunjungi beberapa tempat di Aceh untuk mempelajari proses rekonstruksi dan rehabilitasi di Aceh. Beberapa tempat yang mereka kunjungi adalah Kecamatan Meuraxa dan sekolah-sekolah siaga bencana, dan LSM yang ada di Aceh. Beberapa LSM tersebut bergerak dalam bidang kebencanaan, budaya, dan transparansi kemasyarakatan seperti Tikar Pandan, Karst Aceh, Sekolah Dokarim, dan MaTa. Dalam kesempatan ini, mereka juga melakukan kunjungan studi ke Mahasiswa Pencinta Alam Leuser Universitas Syiah Kuala.
Dalam diskusi ini, ada hal yang sangat mengejutkan dan sekaligus mengkhawatirkan. Ternyata, Jepang yang terkenal akan negara maju ini sampai hari mereka berkunjung tidak menunjukkan sebuah negara yang mampu mengatasi permasalahan rekonstruksi dan rehabilitasi yang mereka alami. Kazuhiko Tada dalam presentasinya mengemukakan bahwa, Daerah Iwate yang notabene daerah yang sangat parah terlanda tsunami, masih menyisakan derita bagi masyarakat disana terkait ketidakjelasan penanganan rehab-rekon dari pemerintah. Masih banyak masyarakat yang depresi hingga meningkatkan angka kematian karena bunuh diri, perekonomian yang belum jelas, dan masih banyak masyarakat yang belum kembali ke Iwate.
Kazuhiko Tada, merasa bahwa apa yang sudah ada di Aceh menjadi suatu yang patut dibanggakan. Jepang seharusnya dapat belajar di Aceh, dan bukan seperti kenyataan hari ini, banyak ahli dan pegiat kebencanaan di Aceh dan Indonesia belajar kebencanaan ke Jepang. Padahal, apa yang mereka dapatkan dalam kunjungannya sangat bertolak belakang. Jepang harus belajar dari Aceh.
Kazuhiko juga membenarkan beberapa masalah yang muncul dalam penanganan kebencanaan di Aceh seperti kebijakan dan pembangunan yang bersifat top down/ sentralisasi tanpa pelibatan partisipasi masyarakat, masyarakat dianggap sebagai objek perencanaan oleh para ahli, kebencanaan masih berwawasan emergency response, dan juga masih banyak data kebencanaan yang dibuat tanpa struktur dan formulasi yang mudah diakses oleh dinas terkait dan masyarakat. Dalam kesimpulan awal, organisasi ini menganggap masih banyak diperlukan evaluasi pada upaya-upaya peningkatan kapasitas yang telah dilakukan.
Lebih lanjut, rombongan ini mengupayakan suatu bentuk pendekatan yang lebih berwawasan budaya dan kearifan lokal dalam menjalankan proses rehab rekon di daerah mereka. Banyak pembelajaran yang mereka dapatkan dari kunjungan kali ini, termasuk kemungkinan pendekatan kebudayaan ini dalam proses pemulihan masyarakat Pattani Thailand yang telah lama didera konflik.