WISATA GUA DAN PENGELOLAAN KARST YANG BERWAWASAN LINGKUNGAN

June 17th, 2009  |  Published in Aven

Di kawasan karst Aceh Besar terdapat gua-gua yang telah hancur dan potensi wisata gua minat khusus di kawasan ini dapat meningkatkan pendapatan daerah dengan tidak melepaskan diri dari asas-asas konservasi gua dan kawasan karst.

PENDAHULUAN

Nilai ekonomi kawasan karst selama ini diidentikkan dengan hasil tambang, sementara itu banyak yang tidak mengetahui bahwa sebenarnya kawasan karst itu mempunyai nilai ekonomi yang jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan “mengandalkan” hasil non tambang. Nilai-nilai ekonomi non tambang kawasan karst seperti: nilai estetika (keindahan), bentuk alam (geomorfologi), kawasan karst yang unik di beberapa tempat serta beberapa gua-gua indah yang terkandung di bawah permukaan tanah. Kesemua nilai ekonomi non tambang tersebut tetap akan ada dan menerus dan ini sejalan dengan prinsip pembangunan yang berkelanjutan. Berbeda sekali dengan aplikasi dari nilai tambang yang sewaktu-waktu akan habis serta menyisakan banyak sekali kerusakan-kerusakan.

Ada banyak nilai-nilai non tambang kawasan karst yang di luar negeri sudah diidentifikasi secara holistik dan diakui memiliki nilai ekonomi tinggi namun di Indonesia aneka nilai-nilai non tambang kawasan karst tersebut belum cukup diapresiasi.

Permasalahannya identifikasi awal di Indonesia hanya pada tahap nilai ekonomi gua sebagai obyek wisata masal. Di negara maju, ribuan gua alam yang tidak dibuka untuk umum dan merupakan daya tarik bagi wisatawan minat khusus, merupakan komoditi yang banyak sekali mendatangkan uang, karena para penelusur gua biasanya tinggal di kawasan karst itu untuk beberapa hari lamanya. HIKESPI (Himpunan Kegiatan Speleologi Indonesia) telah membuktikan berulangkali, bahwa kawasan karst dengan banyak gua belantara ini, hampir setiap tahun dikunjungi turis minat khusus penelusuran gua. Mereka biasanya tinggal di desa-desa atau kota-kota sekitar gua selama hampir satu bulan lamanya. (Jawa Timur: Pacitan dan Tuban, Jawa Tengah: Gombong dan Ayah, Jogja: Wonosari dan Baron, Kalimantan Timur: Tengarong dan Irian jaya: Wamena, Biak, Sorong dan Oksibil, Sulawesi Selatan: Maros dan Pangkep, serta Sumatera Barat: Padang dan Bukit Tinggi). Sangat disayangkan, belum disadari bahwa pendayagunaan kawasan karst dan gua wajib berlandaskan asas-asas pengelolaan kawasan karst. Asas yang juga harus diperhatikan bila hendak dimanfaatkan sebagai obyek wisata alam. Hampir semuanya belum memperhatikan dan belum menguasai aspek-aspek konservasi obyek wisata alam secara seimbang. Belum memahami betapa pentingnya menghitung daya dukung dinamis suatu kawasan karst atau gua yang dijadikan obyek wisata masal. Belum dipahami dan diperhatikan asas zonasi, dan belum dipersiapkan akses, tapak lintas (sirkulasi pengunjung) dan nilai edukatif gua sebagai obyek wisata alam. Akibatnya jelas obyek wisata gua untuk umum pada umumnya gua menjadi rusak oleh tindakan yang berorientasi jangka pendek berwujud “Peningkatan Pendapatan Asli Daerah”, serta tidak berdasarkan asas pengelolaan kawasan karst dan gua secara profesional (Karst and Cave Management). Bahkan membuka gua untuk wisata masal umumnya tidak didahului oleh AMDAL yang wajib dilakukan oleh suatu tim terpadu. Tim terpadu ini terdiri dari ahli pariwisata, ekonomi, sosiologi, speleologi dan karstologi. Bila ada indikasi juga melibatkan ahli arkeologi, palaentologi serta hidrologi karst.

Hal ini dikarenakan di Indonesia sangat langka ahli yang menguasai seluk beluk pengelolaan kawasan karst dan gua, dan belum ada sarana pendidikan untuk menjadi ahli karst dan speleoturisme. Akan tetapi, menurut kenyataannya, para pengembang serta pengelola gua wisata enggan melakukan konsultasi pada instansi yang berwenang seperti Kementrian Negara Lingkungan Hidup, Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata, Departemen Kehutanan, Lembaga Pengetahuan Indonesia, Puslitbang Geologi dan Departemen Pertambangan dan Energi, Himpunan Kegiatan Speleologi Indonesia dan Lembaga Swadaya Masyarakat yang membidangi masalah konservasi karst dan gua. Untuk mewujudkan wisata gua yang dikategorikan dalam wisata gua minat khusus sangat diperlukan satu studi berorientasi biospeleologi yang nantinya satu peningkatan pendapatan daerah dapat terwujud dengan tidak mengenyampingkan konservasi gua dan kawasan karst.

Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk eksplorasi potensi gua-gua yang telah hancur untuk diusulkan segera dibuka sebagai gua wisata yang dikelola oleh satu manajemen khusus gua dan kawasan karst yang berorientasi jangka panjang (berwawasan konservasi), serta dikelola oleh orang-orang yang profesional dalam bidangnya

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dari penelitian dan identifikasi awal, kami menemukan 2 (dua) buah gua dari 10 (sepuluh) gua yang hancur dan akan hancur total, yaitu Gua Sumur dan Gua Fosil yang terletak di Mata Ie, Kecamatan darul Imarah-Aceh Besar. Kerusakan pada umumnya diidentifikasi sebagai akibat dari tindakan vandalisme pengunjung gua dan usaha penambangan batu kapur yang merajalela di kawasan karst ini. Dua gua yang entrancenya dimasuki dengan cara Single Rope Technic ini memenuhi untuk dijadikan obyek wisata minat khusus dari sisi artistik (keindahan) dan edukasi (pendidikan). Keindahan di sini dapat digambarkan oleh keberadaan ornamen-ornamen yang terdapat di dalamnya. Dari sisi edukasi dan bentuk alam (geomorfologi), gua Sumur memiliki nilai yang lebih dibandingkan dengan gua Fosil. Gua Sumur membentuk satu kubah (doom) dengan proses pembentukan yang dapat menggambarkan gua tersebut telah berusia ribuan tahun. Hal ini juga dapat diidentifikasikan dengan ornamen yang menyusunnya, di mana gua Sumur memilki ornamen yang lebih besar dan kokoh. Namun untuk menentukan suatu umur ornamen ataupun gua sangat diperlukan uji identifikasi dengan uji karbonisasi dan untuk hal tersebut dibutuhkan biaya dan waktu yang lebih lama.

Satwa yang mendiami kedua gua tersebut mewakili dua kategori (troglozin, dan troglofil) seperti kelelawar, jangkrik gua, siput dan keluing yang termasuk dalam jenis yang tidak membahayakan pengunjung gua seperti halnya ular atau kalajengking.

Dari sisi hidrologi karst, kedua gua ini tidak termasuk dalam kategori gua yang berlorong basah (vadose) tetapi fosil (kering) yang tidaklah membahayakn pengunjung apabila dimasuki pada musim-musim penghujan. Namun alangkah baiknya untuk dilakukan suatu penelitian terpadu untuk mengetahui keberadaan sungai bawah tanah. Dan ini adalah merupakan hal pokok dalam penentuan suatu gua yang akan dibuka untuk wisata minat khusus. Pernah suatu kejadian di Gua Nyai, 11 orang penelusur muda nekat memasuki gua tersebut tanpa mengetahui topografi dan hidrologi gua tersebut, akhirnya mati dikarenakan banjir di dalam gua.

Bahaya yang mengancam kemungkinan terbesar adalah bahaya dehidrasi dan runtuhan-runtuhan batu (boulder) dari lorong-lorong gua, pada survey awal Karst Aceh pernah merasakan suhu 450 C di entrance gua Fosil, dan ini dapat diminimalkan dengan manajemen gua yang dikelola secara profesional. Kedua gua juga tidak mengisyaratkan akan peningggalan-peninggglan bersejarah (artefak). Bukan berarti tidak ada sama sekali, kecendrungan adanya suatu peninggalan bersejarah hanya dapat ditentukan oleh penelitian yang hanya dapat dilakukan oleh ahli arkeologi dan palaentologi. Alangkah banyak dan besarnya kerugian yang menanti bila ternyata gua-gua tersebut memiliki nilai bersejarah dan merupakan gua warisan dunia seperti halnya gua Sewu ataupun Maros.

Bahaya gas beracun dapat diidentifikasikan dengan normalnya laju pernafasan dan nadi penelusur. Nadi per menit adalah 90 per menit dan nafas 18-19 kali per menit. Jadi dapat diidentifikasi bahwa gua tersebut tidak mengandung mengandung gas-gas RADON ataupun gas lainnya yang dapat membahayakan pengunjung.

KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Gua Sumur dan Gua Fosil diidentifikasikan telah hancur atau rusak dan dianjurkan untuk segera dibuka sebagai gua wisata dengan kategori wisata minat khusus yang dikelola oleh orang-orang yang profesional dan membidangi biospeleologi dan karstologi.

Bahaya-bahaya penelusuran tetap selalu ada. Untuk kategori banjir dalam gua, gas-gas dan binatang berbisa di kedua gua tersebut tidak ditemukan. Bahaya penelusuran dapat diminimalkan dengan selalu mengindahkan Etika Penelusuran Gua dan Kewajiban Penelusuran Gua yang terkandung dalam satu manajemen gua dan kawasan karst.

Saran
Disarankan sebelum dibuka sebagai gua wisata agar dilakukan penelitian lebih lanjut dan spesifik oleh multidisiplin ilmu seperti biospeleologi, karstologi, hidrologi karst, geologi dan bila diperlukan arkeologi serta palaentologi.

Bila dibuka nantinya. Kita tetap mengedepankan asas-asas konservasi kawasan karst dan gua dengan tetap berjalan searah dengan pembanguna berkelanjutan yang berwawasan konservasi tentunya.
Gua sebagai wisata harus selalu diingat adalah satu jalan bagi peningkatan pendapatan daerah khususnya masyarakat setempat. Untuk itu diperlukan satu pendidikan intensif bagi calon-calon pemandu wisata gua yang profesional.

Leave a Response

You must be logged in to post a comment.