Hak Atas Air
October 30th, 2010 | Published in Aven
Hak atas air mengikat secara hukum
Walau PBB telah menyatakan bahwa hak atas air adalah hak asasi manusia, namun, terkait Rencana Strategis Nasional Penanggulangan Bencana 2012-2014 yang dibuat berdasarkan UU NO 24 Tahun 2007, Aceh tidak dinyatakan berisiko terhadap ancaman bencana Kekeringan.
Landasan hukum penyusunan Renas PB adalah Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana terutama Pasal 4 ayat (3) yang menyatakan bahwa tujuan upaya penanggulangan bencana adalah untuk “menjamin terselenggaranya penanggulangan bencana secara terencana, terpadu, terkoordinasi, dan menyeluruh”. Selanjutnya Pasal 6 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 menyatakan bahwa tanggung jawab Pemerintah dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana meliputi:
- Pengurangan risiko bencana dan pemaduan pengurangan risiko bencana dengan program pembangunan;
- Perlindungan masyarakat dari dampak bencana;
- Penjaminan pemenuhan hak masyarakat dan pengungsi yang terkena bencana secara adil dan sesuai dengan standar pelayanan minimum;
- Pemulihan kondisi dari dampak bencana;
- Pengalokasian anggaran penanggulangan bencana dalam APBN yang memadai;
- Pengalokasian anggaran penanggulangan bencana dalam bentuk dana siap pakai; dan
- Pemeliharaan arsip/dokumen otentik dan kredibel dari ancaman dan dampak bencana.Dewan Hak Asasi Manusia PBB akhirnya mengakui hak untuk air dan sanitasi yang mengikat secara hukum dalam hukum internasional, dalam keputusan penting yang diadopsi pada tanggal 30 September 2010.
Aceh seutuhnya jika ditinjau dari arah pembangunan saat ini, sangat beresiko bencana kekeringan. Beberapa tempat jelas mempunyai ancaman yang nyata seperti di kawasan Lhok Nga Aceh Besar yang terancam krisis air oleh penambangan kawasan karst, Kawasan Lhoong yang terancam oleh penambangan bijih besi, Lueng Gayo-Suak Geudebang yang terancam oleh perubahan hutan rawa gambut menjadi relokasi dan perkebunan sawit, serta desa-desa lainnya yang tersebar di dekat pembukaan lahan sawit.

Menurut Ahli Independen PBB, Catarina de Albuquerque bahwa hak untuk air dan sanitasi, masuk dalam perjanjian hak asasi manusia yang sudah ada dan karena itu menjadi terikat secara hukum”. Dia menambahkan bahwa “Keputusan sangat penting karena memiliki potensi untuk mengubah kehidupan milyaran manusia yang masih kekurangan akses terhadap air dan sanitasi.” Penegasan itu muncul setelah 120 negara mendukung suatu resolusi yang mengakui hak mendasar untuk air dan sanitasi di Majelis Umum PBB di New York pada tanggal 28 Juli 2010.

Atas dasar ini, arah pebangunan Aceh yang bervisikan Aceh Hijau, dan beberapa acuan yang diselenggarakan dalam pengurangan resiko bencana seharusnya menyikapi secara menyeluruh hak masyarakatnya. termasuk di dalamnya adalah hak atas air. Ini terkait pula dengan masalah akses terhadap air bersih merupakan tujuan ketujuh dari MDGs yang harus dicapai pada tahun 2015. Oleh karena itu, diperlukan ”political will” yang kuat untuk mencapai tujuan tersebut dengan mengarahkan kebijakan makro ekonomi yang bersifat resource friendly. Kelangkaan” atas air lebih sering dipicu oleh kegagalan kebijakan (policy failiure) daripada faktor alam.


Gambar 3. Hutan Ulee Glee Barat (atas) yang berubah jadi lahan sawit (bawah) (photo: ai nasution)