Lafarge, Batu bara, dan Pencemaran Laut
February 26th, 2012 | Published in Chamber
Batu bara yang disinyalir milik Lafarge telah mencemari Laut dan menghancurkan ekosistemnya
Menyikapi informasi dari Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Aceh Barat dalam berita Harian Serambi Indonesia Rabu, 27 Juli 2011 atas karamnya kapal Pacific Three pengangkut 9.000 ton batubara untuk Lafarge Cement Indonesia (PT. SAI) di perairan Desa Lhok Bubon Kecamatan Samatiga Aceh Barat, Karst Aceh melakukan penelitian dampak karamnya kapal dan pencemaran batu bara terhadap ekosistem laut di kawasan Lhok Bubon.
Dari hasil penyeleman yang telah dilakukan, diketemukan Hard Coral sebagai penyokong utama kehidupan ekosistem bawah laut rusak total. Tidak ada satupun yang tersisa dari koloni hard coral pada area kapal yang tenggelam. Keberadaan hard coral ini sangat penting sebagai penyokong kehidupan Soft Coral, dan terbukti pada semua area penyelaman tidak ditemukan adanya soft coral. Hubungan ini dibuktikan dalam analisis statistik pearson yang digunakan pada rentang satu hingga tiga jam penyelaman. Selanjutnya tim tidak menemukan keberadaan ikan dan invertebrata pada area pengukuran. Analisis sustainabilitas sumber daya ikan yang ada dengan menggunakan ArcGIS menunjukkan kerusakan ini terkait dengan bahan cemaran batu bara yang terus mencemari areal Lhok Bubon dengan luas cemaran terus meningkat. Saat ini bahan cemaran batu bara telah mencapai luar batas Lhok Bubon. Ini merupakan indikator kerusakan besar yang harus segera ditindak lanjuti bukan hanya dengan sekedar membersihkan batu bara yang ada di pantai saja, karena cemaran batu bara sudah mencapai luar Lhok Bubon radius 3 km.
Batu bara yang telah mencemari laut tersebut diketahui dalam jumlah besar yaitu 9000 ton, akibatnya akan menutupi sinar matahari yang menuju bawah laut, dan menghambat proses fotosintesis biota laut yang membutuhkan cahaya matahari untuk bertahan hidup dan berkembang biak. Gelapnya bawah laut akibat partikel batubara akan menghambat pertumbuhan karang. Bahkan walau beberapa kali akan dilakukan transplantasi (budidaya terumbu karang dengan media buatan), karang akan sangat sulit bertahan hidup, jikapun hidup pertumbuhannya sangat lamban” ujar Abdillah Direktur Karst Aceh yang telah melakukan tiga kali penyelaman di laut itu.
Ditambahkan lagi, kerusakan yang terjadi jika dilihat dari hasil survey tim Porifera beberapa waktu lalu jika dibandingkan dengan kondisi saat ini, sudah terlalu parah. Sehingga akan mengancam kehidupan nelayan setempat yang selama ini masih menggantungkan hidup mereka dari hasil laut.
Oleh karena itu, Karst Aceh mendesak instansi pemerintah untuk meminta pertanggungjawaban Lafarge Cement Indonesia sebagai pihak yang membeli batu bara tersebut untuk melakukan upaya pencegahan dan pengendalian pencemaran sesuai dengan Pasal 15 Peraturan Pemerintah No 19 tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan Perusakan Laut.