Pengelolaan Resiko Bencana Berbasis Komunitas Di Kecamatan Meuraksa Kota Banda Aceh
April 23rd, 2010 | Published in Disaster | 1 Comment
Oleh: Abdillah I Nasution
Benarkah Pemerintah Aceh telah mengambil langkah-langkah untuk meletakkan kebijakan yang berkenaan dengan pengurangan resiko bencana?.
Indeks Siaga Bencana Kecamatan Meuraksa
Dari hasil analisis bahwa secara keseluruhan Kecamatan Meuraksa dalam kondisi Siap Bencana. Ini ditunjukkan dengan rata-rata bobot indeks siap siaganya adalah: 3.09. Untuk mendapat indeks kesiapsiagaan, digunakan pembobotan nilai yang diberikan pada jawaban-jawaban yang didapat dari proses wawancara. Jawaban terbaik diberikan bobot 4 dengan pengertian Sangat Siap, bobot 3: Siap, Bobot 2: Tidak Siap, dan 1: Sangat Tidak Siap. Dari 16 desa yang ada di kecamatan ini, secara berurutan lima desa yang siaga adalah Desa Lambung (Bobot: 3.28), Desa Gampong Pie (3.23), Desa Alue Deah Teungoh (3.11), Desa Deah Baro (3.10), dan Desa Deah Geulumpang (3.098). Dari hasil analisis juga didapatkan desa yang kurang siaga adalah Desa Cot Lamkueweuh (Bobot: 2.45). Tidak ada satu desapun di dalam Kecamatan Meuraksa Kota Banda Aceh dalam keadaan sangat siaga dan tidak siaga.
Tabel. Indeks Kesiapsiagaan 16 Desa di Kecamatan Meuraksa
NO | DESA | INDEKS SIAGA |
1 | LAMBUNG | 3.280303 |
2 | GAMPONG PIE | 3.227273 |
3 | ALUE DEAH TEUNGOH | 3.113636 |
4 | DEAH BARO | 3.106061 |
5 | DEAH GLUMPANG | 3.098485 |
6 | LAMPASEH ACEH | 3.090909 |
7 | ASOE NANGGROE | 3.090909 |
8 | GAMPONG BARO | 3.037879 |
9 | GAMPONGBLANG | 3.007576 |
10 | PUNGE UJONG | 2.954545 |
11 | ULEE LHEU | 2.94697 |
12 | SURIEN | 2.901515 |
13 | LAMJABAT | 2.901515 |
14 | BLANG OI | 2.80303 |
15 | PUNGE JURONG | 2.69697 |
16 | COT LAMKUEWUEH | 2.44697 |
Hasil analisis jika digabungkan dengan kriteria yang ada, didapatkan bahwa kategori wisata menempati indeks paling rendah (Kurang Siaga: 2.31), sedangkan kategori lainnya seperti perkantoran, SMA, SMP, dan SD menunjukkan indeks yang Siaga (2.94-3.02). Ini juga menunjukkan bahwa indeks kesiapsiagaan sekolah pada jenjang pendidikan SD menunukkan indeks yang lebih baik yaitu 3.02 dari pada jenjang pendidikan lainnya termasuk jika dibandingkan dengan perkantoran (3) atau bahkan dengan kriteria wisata yang hanya mencapai 2.31. Kriteria wisata adalah pengunjung dan pengelola fasilitas wisata yang ada di wilayah penelitian. Kriteria wisata ini sangat memberikan peringatan kepada kita mengingat beberapa fasilitas wisata yang ada seperti: waterboom dan taman rekreasi tepi laut ULee Lheu rata-rata dikunjungi wisatawan domestik sebanyak 100-200 pada hari biasa, sedangkan hari-hari libur dapat mencapai angka 2000 oarang.
Tabel Indeks Kesiapsiagaan Per Kriteria di Kecamatan Meuraksa
NO | DESA/KRITERIA | INDEKS SIAGA |
1 | LAMBUNG | 3.280303 |
2 | GAMPONG PIE | 3.227273 |
3 | ALUE DEAH TEUNGOH | 3.113636 |
4 | DEAH BARO | 3.106061 |
5 | DEAH GLUMPANG | 3.098485 |
6 | LAMPASEH ACEH | 3.090909 |
7 | ASOE NANGGROE | 3.090909 |
8 | GAMPONG BARO | 3.037879 |
9 | SD | 3.028926 |
10 | SMP | 3.028926 |
11 | GAMPONG BLANG | 3.007576 |
12 | KANTOR | 3.00000 |
13 | PUNGE UJONG | 2.954545 |
14 | ULEE LHEU | 2.94697 |
15 | SMA | 2.942149 |
16 | SURIEN | 2.901515 |
17 | LAMJABAT | 2.901515 |
18 | BLANG OI | 2.80303 |
19 | PUNGE JURONG | 2.69697 |
20 | COT LAMKUEWUEH | 2.44697 |
21 | WISATA | 2.318182 |
Keterlibatan Masyarakat
Dari proses keterlibatan masyarakat, perencanaan pengelolaan bencana berbasis komunitas yang terdapat di Kecamatan Meuraksa menunjukkan nilai yang sangat rendah. Ini menunjukkan bahwa perencanaan pengelolaan tsunami yang telah dibuat tidak melibatkan masyarakat. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa cuma 14% saja masyarakat yang terlibat dalam perencanaan evakuasi, sedangkan yang menjawab hanya perangkat desa saja yang terlibat dalam perencanaan evakuasi sebanyak 13%. Masyarakat paling banyak menjawab (52%) bahwa hanya sekelompok orang yang telah ditunjuk saja yang mengikuti perencanaan, sedangkan yang menjawab tidak tahu sebanyak 21%.
Dari perencanaan yang diikuti oleh masyarakat, mereka menyatakan bahwa keterlibatan pada tahap uji coba evakuasi saja yang paling banyak dilibatkan (55%), malah sebesar 17% masyarakat menyatakan mengikuti perencanaan tapi tidak mengetahui apa-apa. Selanjutnya sebesar 10% menyatakan perencanaan yang diikuti adalah perencanaan disain fasilitas, perencanaan tempat dan sistem pengelolaan. Masyarakat menyatakan mengikuti perencanaan tempat dan disain fasilitas sebesar 6%, dan yang menyatakan merencanakan pengelolaan sebesar 2%.
Satu hal yang paling menarik adalah, masyarakat menyakini bahwa gempa yang berpotensi tsunami dari insting mereka. Ini dibuktikan dari sebesar 66% yang menjawab hal tersebut. Sedangkan responden lainnya menjawab mengetahui gempa yang berpotensi tsunami dari sirine yang berbunyi nantinya (25%), sebanyak 4% mengetahui dari pemberitahuan sebelumnya baik dari headlight di televisi, koran maupun radio. Ada juga masyarakat yang tidak peduli jika terjadi hal demikian (2%), hanya 3% saja yang menjawab melihat situasi dan kondisi dulu, jika banyak orang yang berlari, dia pasti akan berlari juga.
Fasilitas Gedung dan Jalur Evakuasi
Observasi dan pengambilan titik GPS dilakukan pada 28 bangunan yang diajukan oleh SDC sebagai gedung atau bangunan evakuasi. Dari 28 bangunan tersebut didapatkan bahwa 3 bangunan tidak ada di lapangan, yaitu bangunan baru yang berlokasi di Deah Baro, Gampong Pie, dan Blang Oi. Dari beberapa diskusi juga didapatkan bahwa, gedung atau fasilitas evakuasi yang telah dibangun, tidak pernah disosialisasikan kepada masyarakat. Sehingga, masyarakat sebenarnya tidak memahami, bahwa gedung atau fasilitas yang dirancang untuk evakuasi itu sangat dibutuhkan jika terjadi tsunami dikemudian hari. Apalagi, masyarakat tidak mengetahui berapa kapasitas per gedung evakuasi, sertifikasi kekuatannya, dan siapa pengelolanya.
Dari total daya tampung gedung evakuasi yang diajukan oleh SDC yaitu sebanyak 9150 orang jika dianalisis dengan data penduduk yang telah diproyeksikan maka akan didapatkan bahwa dibutuhkan gedung evakuasi yang lainnya. Apalagi, masyarakat memastikan bahwa yang dianggap sebagai gedung evakuasi hanya gedung Nippon KOEI yang tersebar di tiga desa dengan total daya tampungnya adalah 1500 orang.
Perencanaan Jalur Evakuasi
Survey pengukuran lebar jalan dilakukan per 25 m dalam setiap jalurnya. Dari hasil survey terhadap 18 jalan yang diajukan oleh SDC tersebut, dapat disimpulkan bahwa dari sudut perencanaannya adalah tidak siaga bencana. Ini dapat dilihat dari 18 jalur yang diajukan, 10 jalur mengalami pengurangan lebar, sedangkan 8 jalur lainnya mengalami peningkatan lebar. Namun demikian, secara keseluruhan lebar jalan terkini pada jalur evakuasi yang telah diajukan oleh konsultan tersebut adalah siaga bencana yaitu 7.86 m, dimana terdapat selisih rata-rata per jalurnya adalah 1.2 m.
Zona selamat Evakuasi
SDC merekomendasikan waktu untuk mencapai gedung evakuasi adalah kurang dari 15 menit. Menurut hasil penelitian terdahulu, didapatkan bahwa rata-rata kecepatan lari orang dewasa adalah: 2.86 m/ det2, remaja: 3.33 m/ det2, anak-anak: 2 m/ det2, serta lansia: 1.67 m/ det2. Dengan data-data ini, hasil yang didapatkan untuk perkiraan wilayah sekitar (range) berapa saja yang kemungkinan dapat mencapai gedung evakuasi. Dari persamaan V=s/t didapatkan jarak sekian meter yang diperkirakan mencapai gedung evakuasi dan selamat apabila terjadi tsunami. Hasil jarak (s) yang dapat menempuh gedung evakuasi dalam 15 menit (t=900 detik) untuk kategori dewasa adalah dalam range 2.6 km dari gedung evakuasi sedangkan pada kategori remaja dapat mencapai 3 km. Untuk kategori anak-anak mencapai 1800 dari gedung evakuasi, sedangkan pada lansia hanya mencapai 1.5 km dari gedung evakuasi. Analisis GIS yang dilakukan menunjukkan bahwa gedung evakuasi diperuntukkan kepada semua wilayah di Kecamatan Meuraksa, malah dapat juga digunakan oleh kecamatan lain bila sewaktu-waktu terjadi tsunami. Menurut hasil yang telah dibahas sebelumnya, apabila kita sandingkan dengan total penduduk yang ada di masa depan, jelas bahwa gedung evakuasi ini tidak dapat menampung korban tsunami nantinya, terlebih lagi di 30, 50, dan 100 tahun ke depan.
Kecamatan Meuraksa berdasarkan peta potensi landaan tsunami yang dikeluarkan oleh Departemen Energi Sumber Daya Mineral termasuk ke dalam potensi landaan tsunami. Zona selamat Evakuasi didapatkanlah beberapa informasi penting lainnya, seperti zona aman anak-anak, zona aman lansia, zona aman dewasa, dan zona aman remaja. Dari masing-masing zona aman ini, analisis GIS yang kami manipulasikan pada tumpang tindih informasi yang ada memunculkan informasi penting lainnya. Dalam hal ini kami munculkan informasi penting tersebut ke dalam Protokol Evakuasi Individual Kecamatan Meuraksa. Berdasarkan hasil analisis GIS yang dilakukan terhadap data-data potensi landaan tsunami dan hasil analisis zona selamat evakuasi, didapatkan zona selamat anak-anak seperti tampak pada peta protokol evakuasi. Analisis GIS juga mendapatkan analisis estimasi jumlah survivor. Jumlah survivor didapatkan dari survey jumlah rata-rata orang di dalam satu gedung yang ada, yaitu 6 orang. Berdasarkan hal ini, hasil analisis data mendapatkan informasi estimasi jumlah survivor bencana tsunami. Atribut data masing-masing zona selamat merupakan hasil interseksi zona selamat dengan rumah/ bangunan yang didapat dari dijitasi ulang google earth. Hasil tabulasi masing-masing zona dan jumlah estimasi survivor dapat dilihat pada tabel. Hasil analisis ini jika ditumpangtindihkan dengan spasial 3 unit bangunan evakuasi KOEI memberikan alternatif zona selamat yang dapat diterapkan masyarakat yang terdapat pada zona selamat untuk tidak berlari ke arah gedung evakuasi tapi ke arah zona aman seperti yang tergambar pada Peta Protokol Evakuasi Individual Kecamatan Meuraksa.
Tabel. Estimasi Survivor Per Zona Selamat
Kategori Zona Selamat | v (m/det) | t (det) | s m) | Rumah/ Bangunan(unit) | Estimasi Survivor(jiwa) |
Dewasa | 2.86 | 900 | 2574 | 2290 | 13740 |
Remaja | 3.33 | 900 | 2997 | 4030 | 24180 |
Anak-anak | 2 | 900 | 1800 | 219 | 1314 |
Lanjut usia | 1.67 | 900 | 1503 | 25 | 150 |
Total | 39384 |
Keterangan: 1 unit rumah/ bangunan menurut BPS adalah 6 orang
Peta Protokol Evakuasi Individu Meuraksa
PKM (Proses Konsultasi Masyarakat)
Dari hasil Proses Konsultasi Masyarakat terdapat beberapa hal penting. Berdasarkan analisis kami, proses ini dibagi ke dalam kategori, yaitu: pengetahuan (knowledge), permasalahan (problem), dan rekomendasi masyarakat (recommendation).
Pengetahuan (knowledge)
Hasil dari Proses Konsultasi Masyarakat ini tidak jauh berbeda dengan indeks kesiapsiagaan yang telah dijelaskan sebelumnya. PKM ini menunjukkan bahwa pengalaman tsunami di tahun 2004 telah memberikan pelajaran berharga bagi masyarakat Kecamatan Meuraksa dan umumnya bagi para korban tsunami di Aceh. Siaga terhadap bencana dan memahami bagaimana proses tsunami terjadi adalah dua hal penting yang berkaitan langsung dengan bagaimana masyarakat menghindari secara alamiah terhadap bencana tersebut dan kemampuan masyarakat untuk dapat membedakan gempa yang berpotensi terhadap bencana tsunami dan gempa yang tidak berpotensi terhadap bencana tsunami.
Secara proses, menurut masyarakat terjadinya tsunami melalui beberapa tahapan, yaitu: 1) Gempa, 2) Jeda, 3) Pecah tanggul, dan 4) Air naik ke permukiman/ ke rumah masyarakat. Dari tsunami drill yang pernah diikuti oleh masyarakat, dapat disimpulkan bahwa masyarakat telah mengetahui proses ataupun tahapan yang akan dilakukan bila terjadi gempa yang berpotensi tsunami. Adapun tahapan-tahapan terjadinya tsunami menurut masyarakat adalah: 1) Gempa, (2) Bunyi Sirene, 3) Lari atau proses evakuasi, lalu setelah itu Air menjadi naik dan nbanyak juga teman mencegah kepergiaanya ke klub lainnya
Masyarakat juga menyadari bahwa salah satu kebijakan Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kota Banda Aceh pasca tsunami 2004 dalam bidang pembangunan adalah kota siaga bencana, program ini bertujuan untuk antisipasi dini dari setiap bencana alam, khususnya tsunami di kota Banda Aceh. Tingginya korban jiwa pada saat tsunami lima tahun silam telah memberikan pelajaran berharga bahwa pembangunan kota Banda Aceh ke depan yang berbasis bencana sudah harus disiapkan untuk masa mendatang. Menurut masyarakat, pembangunan infrastruktur adalah hal pertama yang dilakukan dalam program ini. Infrastruktur ini ada yang dibangun khusus atau yang disebut evacuation building, bangunan khusus ini didesain untuk menampung masyarakat lokal dengan cakupan pedesaan (sekitar 300-400 jiwa). Dalam perencanaan bangunan ini menjadi langkah taktis untuk proses evakuasi apabila sewaktu-waktu terjadi bencana tsunami.
Mengelobrasi lingkup teknologi dan kearifan lokal merupakan kunci utama untuk membangun media evakuasi yang sistematis dan fungsional. Gedung yang terletak di tengah pemukiman penduduk tersebut juga berfungsi untuk aktivitas sosial kemasyarakatan. Sarana pendukung lain yang disediakan oleh pemerintah juga adalah penunjuk arah atau rambu-rambu yang dipasang di setiap persimpangan, tujuannya adalah agar masyarakat dapat dengan cepat dan mudah mencapai gedung tersebut. Selain membangun gedung khusus, pemerintah juga mengoptimalkan bangunan yang berkaitan langsung dengan aktifitas kemasyarakatan sebagai tempat evakuasi, misalnya mesjid, sekolah, gedung riset dan museum tsunami, penggabungan fungsi ini diharapkan efektif sebab gedung tersebut kebutuhan pokok masyarakat dalam menjalankan aktifitas sosialnya, dengan sendirinya tidak perlu pengelolaan khusus.
Permasalahan (problem)
Beberapa faktor kelemahan dalam sistim evakuasi yang ada di Kecamatan Meuraksa yaitu: Pertama, Pelibatan masyarakat lokal tidak maksimal. Pada tahapan perencanaan, masyarakat Kecamatan Meuraksa dilibatkan hanya pada proses sosialisasi program. Masyarakat diharapkan dapat mengetahui proses keseluruhan evakuasi bencana, lokasi, media, dan sebagainya. Kedua, Prediksi penggunaan fasilitas evakuasi bersifat jangka pendek. Jika dilihat dari pengalaman begitu dahsyatnya tsunami, walaupun pemerintah telah membangun evacuation building di kawasan mereka, masyarakat tidak akan lari menyelamatkan diri ke atas gedung itu. Pada dasarnya, menurut masyarakat pemerintah membangun evacuation building di kecamatan ini agar jika musibah tsunami terjadi lagi di suatu waktu nanti, masyarakat telah memiliki sebuah tempat untuk menyelamatkan dirinya.
Pada kenyataannya, masyarakat setempat tidak pernah meminta pada pemerintah untuk membangun evacuation building di daerah itu, dan masyarakat juga tidak pernah dilibatkan dalam proses perencanaan pembangunannya. Apalagi, struktur disain dan alur evakuasi di fasilitas ini, masyarakat pesimis bahwa gedung ini akan bermanfaat nantinya jika ada tsunami datang, karena masyarakat untuk dapat mencapai tempat tertinggi di evacuation building, harus berlari dan naik secara melingkar, dimana arahnya menuju arah gelombang yang datang.
Pada dasarnya, naluri dasar masyarakat sudah sangat paham untuk dapat menyelamatkan diri sendiri jika ada musibah yang datang, mereka tidak membutuhkan evacuation building. Persoalan yang timbul sekarang adalah pada bangunan evacuation building yang telah berdiri, dan telah menghabiskan biaya yang mahal dan besar dengan masa manfaat yang singkat serta hanya memberikan sedikit manfaat bagi masyarakat. Pengalaman musibah tsunami di Jepang telah membuat pemerintah Jepang memasukkan semua unsur tsunami ke berbagai sudut, seperti pendidikan, tata ruang, dan lain sebagainya, dimana masyarakat Jepang jika terjadi sesuatu mereka sudah siap untuk menghadapi dan memiliki ilmu dan pengalaman.
Rencana evakuasi yang dirancang ini hanya sampai tahun 2010, dan seharusnya ada perencanaan kembali, harapannya adalah pada perencanaan lanjutan harus adanya pelibatan masyarakat secara penuh, sehingga niat untuk mereduksi jumlah korban jika terjadi bencana di wilayah itu akan lebih banyak. Pemerintah membutuhkan ekplorasi aspirasi atau rekomendasi dari masyarakat. Kami melihat bahwa ada masalah di penanganan bencana di Aceh ini, di mana tata ruang tidak mendukung untuk penanganan bencana, dan partisipasi masyarakat dalam merencanakan pembangunan sekitarnya sangat minim. Masalah yang lain juga, seperti di Desa Lampaseh tidak diberikan arahan untuk lari dari bencana tsunami, akan tetapi di desa lain memiliki tanda. Kenyataannya adalah adanya evacuation building adalah hal yang membuang-buang uang, karena masyarakat tetap akan lebih memilih untuk menggunakan kendarannya dan lari ke tempat yang lebih tinggi misalnya Jantho, jika terjadi bencana. Mengenai pengelolaan gedung juga belum jelas, dimana sarana penerangan di malam hari juga belum baik.
Faktor yang paling penting dalam evakuasi ini, menurut masyarakat adalah jalan, dimana jalan tidak harus disekat, dan lebih lanjut masayarakat menyatakan bahwa untuk Kecamatan Meuraksa dibutuhkan jalan dua jalur, dimana salah satu jalurnya dikhususkan untuk evakuasi tsunami. Desa Ulee Lheu menurut masyarakat, tidaklah pantas dijadikan tempat evakuasi, karena semakin padatnya jumlah penduduk. Menurut masyarakat, evakuasi untuk kawasan Desa Ulee Lheu lebih baik diarahkan ke daerah yang lebih tinggi (gunung), dan pemerintah harus membuat jalur untuk akses ke tempat yang lebih tinggi.
Dari peta fasilitas evakuasi yang diajukan oleh SDC, lokasi bangunan/ evacuation building untuk masyarakat berlindung dari tsunami secara umum tidak sesuai dengan keinginan masyarakat untuk selamat dari tsunami. Tidak sesuai dalam persepsi masyarakat ini adalah tidak bersifat menyelamatkan jiwa atau riskan. Beberapa faktor ketidaksesuaian tersebut menurut hasil PKM adalah: Jarak tempuh bangunan yang sangat jauh, kapasitas bangunan yang sedikit/ kecil, serta bangunan yang ada searah menuju bibir pantai.
Tabel. Kesesuaian Lokasi evacuation building dengan pengetahuan masyarakat
No | Nama Desa | Keterangan |
1 | Lambung | Sesuai |
2 | Alu Deah Teungoh | Sesuai |
3 | Deah Baroe | Sesuai |
4 | Gampong Baroe | Tidak Sesuai |
5 | Surin | Tidak Sesuai |
6 | Lamjabat | Tidak Sesuai |
7 | Asoe Nanggroe | Sesuai |
8 | Gampong Blang | Sesuai |
9 | Punge Jurong | Tidak Sesuai |
10 | Punge Ujong | Tidak Sesuai |
11 | Ulee Lheu | Tidak Sesuai |
12 | Gampong Pie | Tidak Sesuai |
13 | Cot Lamkuweh | Tidak Sesuai |
14 | Blang Oi | Tidak Sesuai |
15 | Deah Glumpang | Sesuai |
16 | Lampaseh Aceh | Tidak Sesuai |
Dari hasil analisa peta partisipatif yang dilakukan, Desa Ulee Lheu menginginkan jalur evakuasi yang aman menurut mereka adalah dari kawasan desa mereka (berkumpul di mesjid Ulee Lheu) lalu berlari secara garis lurus melewati Desa Cot Lamkueweuh dan Gampong Lamjabat untuk mencapai Gampong Surien. Ini mereka pandang lebih aman daripada berlari menyusuri pantai untuk menuju fasilitas evakuasi yang diajukan yaitu taman rekreasi, Mesjid Ulee Lheu, dan gedung TDMRC. Demikian juga dengan Desa Gampong Pie yang menginginkan jalur evakuasinya menuju Desa Lambung, sementara itu untuk kawasan Lambung, menginginkan sebagiannya berlari ke arah Blang Oi. Untuk Lampaseh Aceh, masyarakat merasa aman dengan membagi tiga jalur evakuasi, yaitu sebagian ke arah Alue Deah Teungoh, sebagian ke arah Mesjid Raya, dan sebagiannya lagi menuju ke fasilitas evakuasi yang seharusnya ada di antara perbatasan gampong mereka dengan Punge Ujong dan Punge Jurong.
Mereka memikirkan, bahwa bila fasilitas ini ada tentu juga sangat berguna untuk kedua gampong tetangga mereka tersebut. Ini juga mendapat respon yang positif dari Desa Punge Ujong yang salah satu jalur evakuasinya menginginkan hal yang sama dengan yang diinginkan Lampaseh Aceh untuk membangun fasilitas evakuasi yang dapat digunakan oleh ketiga desa ini. Jalur lainnya, Punge Jurong menginginkan masyarakat jika terjadi tsunami untuk berlari ke arah Desa Punge Blang Cut.
Dari hasil PKM, didapatkan peta inundation tsunami yang dibuat oleh SDC dan BRR secara umum sangat berbeda dengan pengalaman masyarakat yang merupakan korban tsunami. Dari kajian teknis SDC dan BRR, Kecamatan Meuraksa dilanda gelombang tsunami dikelompokkan dalam empat ketinggian genangan, yaitu setinggi 0.05 m- 1 m, setinggi 1-3m, setinggi 3-6 m, dan setinggi 6-9 m. Dari peta tersebut daerah Ulee Lheu, sebagian Deah Baro merupakan daerah yang paling tinggi genangan tsunaminya, sedangkan daerah yang paling rendah adalah Punge Jurong, Punge Ujong, sebagian Gampong Baro, sebagian Lampaseh Aceh, dan sebagian Surien. Beberapa desa lagi mengalami genangan yang sedang yaitu sekitar 3-6 m.
Sementara versi masyarakat menyatakan bahwa daerah Ulee Lheu mencapai 9-12 m dan Deah Baro mencapai 12-15 m. Versi masyarakat untuk daerah yang paling rendah genangan tsunaminya adalah Desa Surien yaitu setinggi 3-6 m. Spasial (keruangan) yang disampaikan dalam peta yang di buat oleh BRR dan SDC ini tidak benar jika kita lihat bersama dan seksama. Masyarakat menyalahkan peta genangan tersebut dengan memberikan salah satu contoh nyata yaitu keberadaan kapal PLTD Apung yang dapat mencapai kawasan Punge. Ini adalah bukti bahwa informasi yang disajikan oleh BRR dan pihak terkait tidak sesuai dengan fakta dan data yang ada. Hasil selengkapnya peta partisipatif genangan tsunami dan perbandingannya dengan peta banjir tsunami yang dikeluarkan oleh SDC dan BRR ini dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Rekomendasi Masyarakat
Dari hasil PKM ini didapatkan bahwa proses dan metode evakuasi bencana tsunami yang diterapkan oleh pemerintah tidak bersifat jangka panjang dan terbatas pada pengutamaan infrastruktur. Menurut masyarakat, gedung evakuasi tersebut diprediksikan tidak mempu menampung penduduk yang jumlahnya semakin bertambah dari waktu ke waktu. Penempatan lokasi yag tidak strategis menjadi persoalan selanjutnya. Hal ini berkaitan dengan lokasi bangunan yang tidak jauh dari garis pantai dan jalur yang rumit untuk menuju lokasi bangunan evakuasi tersebut.
Pengalaman simulasi tsunami yang dilakukan oleh pemda dapat disimpulkan bahwa arah evakuasi justru menuju ke arah gelombang. Hal in berbanding terbalik dengan insting ataupun feeling setiap orang bahwa menjauhi gelombang adalah keniscayaan menyelamatkan diri. Kondisi seperti ini terjadi karena minimnya partisipasi masyarakat dalam program penyelamatan/evakuasi korban bencana tsunami yang dilakukan oleh pemerintah.
Pada tahapan perencanaan masyarakat hanya terbatas pada proses sosialisasi. Sementara pada tahapan pelaksanaan atau pengelolaan tidak ada pihak yang jelas siapa yang bertanggung jawab terhadap bangunan tersebut atau media evakuasi lainnya. Seharusnya, pemerintah harus memberikan hak pengelolaan kepada masyarakat setempat dan menggabungkan/menyatukan fungsi evakuasi dengan fungsi sosial lainnya. Sehingga masyarakat dapat mengambil manfaat dari keberadaan bangunan tersebut.
Beberapa poin penting lainnya yang direkomendasikan oleh peserta PKM adalah sebagai berikut:
- Diperlukan sistem alarm dini. Menurut masyarakat jika mereka mempunyai peringatan bencana yang lebih dini, maka kita tidak akan membutuhkan gedung evakuasi dikarenakan dengan adanya sirine masyarakat dapat lari lebih jauh untuk menyelamatkan diri dari bencana.
- Sekolah-sekolah agar memasukkan kurikulum akan pemahaman tentang tsunami dan penyelamatan diri agar mereka tidak buta akan evakuasi
- Proses/ kegiatan sosialiasi bencana kepada masyarakat harus berkesinambungan
- Jalan yang singkat dan lurus dan dengan ukuran yang cukup untuk menuju tempat evakuasi
- Tersedianya sarana transportasi/ angkutan massal yang baik untuk proses evakuasi
KESIMPULAN
Kapasitas dan kesiapsiagaan masyarakat Kecamatan Meuraksa yang siaga bencana tidak didukung oleh perencanaan evakuasi yang tidak partisipatif, sistim pengelolaan yang tidak siaga bencana, dan terdapat perbedaan antara realisasi perencanaan yang tidak partisipatif tersebut dengan. pendapat dan kebutuhan masyarakat, serta kenyataan di lapangan pada saat ini.
Masyarakat hanya dilibatkan dalam proses sosialisasi saja, tidak pernah dilibatkan dalam perencanaan, implementasi, dan pengawasannya. Menurut masyarakat, Jarak tempuh bangunan evakuasi sangat jauh, kapasitas bangunan yang sedikit/ kecil, serta bangunan yang ada searah menuju bibir pantai.
Desa siaga bencana di Kecamatan Meuraksa adalah Desa Lambung, Desa Gampong Pie, Desa Alue Deah Teungoh, Desa Deah Baro, dan Desa Deah Geulumpang, sedangkan desa yang kurang siaga adalah Desa Cot Lamkueweuh. Pengunjung dan pengelola wisata mempunyai indeks Kurang Siaga, sedangkan perkantoran, SMA, SMP, dan SD menunjukkan indeks Siaga. Indeks kesiapsiagaan sekolah pada jenjang pendidikan SD menunjukkan indeks yang lebih baik dari pada jenjang SMP, SMA, termasuk jika dibandingkan dengan perkantoran
May 8th, 2010at 4:06 pm(#)
Begitu banyak kebohongan baik oleh INGO maupun Pemkot Banda Aceh..atau Pemprov Aceh ya…kalau dari hasil penelitian ini Kita terancam hingga anak cucu kita ya?