RPJM dan Penanggulangan Bencana
December 5th, 2020 | Published in Disaster
Dokumen RTRW suatu provinsi menetukan arah dan strategi kebijakan yang seharusnya menyentuh substansi permasalahan yang terjadi di suatu daerah, Rencana Penanggulangan Bencana dan PetaRisiko adalah komponennya
Kedudukan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) suatu provinsi ditujukan dapat menjadi pedoman bagi perwujudan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan perkembangan anta rwilayah kabupaten/kota, serta keserasian antarsektor di provinsi tersebut. Berdasarkan kajian, ada beberapa dokumen RTRW suatu provinsi yang menyebutkan adanya peningkatan potensi bencana alam, misalnya sebuah provinsi yang mengalami kerusakan lingkungan akibat eksploitasi yang tidak berwawasan lingkungan. Beberapa aktivitas yang teridentifikasi seperti illegal logging, penambangan pasir ilegal, pendudukan kawasan hutan, dan alih fungsi hutan lindung, yang secara kasat mata dapt mengakibatkan peningkatan bencana terutama banjir dan longsor.
Untuk itu, dalam menikmati manfaat ruang dan/atau pertambahan nilai ruang sebagai akibat penataan ruang dan perkembangan wilayah, seharusnya RPJM memberi dampak positif pada pertambahan nilai ruang yang dapat dilihat dari sudut pandang ekonomi, sosial, budaya, dan kualitas lingkungan yang dapat berupa dampak langsung tehadap peningkatan ekonomi masyarakat, sosial, budaya, dan kualitas lingkungan. Untuk itulah RPJM seharusnya dibuat berdasarkan analisis yang baik dengan mengenali dan memhami potensi bencana di suatu daerah.
Pemerintah daerah dan masyarakat idealnya harus mampu mengenali dan memahami langkah antisipasi/ mitigasi maupun penanggulangan bencana secara terpadu yang terdokumentasi ke dalam dokumen Rencana Penanggulangan Bencana. Dokumen Rencana Penanggulangan Bencana secara perencanaan harus diperbarui setiap 5 (lima) tahun yang dibuat sesuai dengan analisis peta dan kajian risiko yang mengakomodir data terbaru mengenai potensi dan risiko bencana di suatu daerah. Di samping dibutuhkannya peta risiko bencana untuk penyusunan kembali Rencana Penanggulangan Bencana yang belum diperbaharui, permasahalan sosial seperti kemiskinan, degradasi lingkungan, minimnya kegiatan peningkatan kapasitas, serta kondisi pandemic Covid19 membuat perubahan dinamika kerentanan dan kapasitas sebagai faktor yang berkontribusi dalam risiko bencana perlu segera diperbaharui. Oleh karena itu, dalam membuat RPJM, sebuah daerah harusnya membuat Rencana Penanggulangan Bencana yang mengakomodir Peta Risiko Bencana setiap lima tahun sekali. Apa lacur, konon RPJM yang terlihat luar biasa dan bahkan mengalahkan RPJM kota-kota besar di dunia itu tidak dibuat berwawasan pengurangan bencana sama sekali.
Dokumen seperti peta risiko bencana misalnya, selain berisikan data dan analisis komponen bencana yang terdiri dari indeks ancaman, indeks kerentanan, dan indeks kapasitas, Peta Risiko Bencana juga dapat mempertimbangkan kesenjangan kesempatan dan kompensasi lingkungan untuk merangkum kebijakan alternatif yang berhubungan dengan upaya pengurangan risiko bencana di Kabupaten/ Kota maupun Provinsi di Aceh.
Kesenjangan kesempatan dan kompensasi lingkungan ini harus secara tegas dideskripsikan di dalam RTRW. Kita misalkan lagi bahwa Kajian Risiko Bencana yang telah mendokumentasikan beberapa ancaman terkait keberadaaan industri yang ada, seperti Kegagalan Teknologi dan Kekeringan. Atau misalnya seperti Bencana Lusi (luapan lumpur Sidoarjo) yang menjadi bencana nasional yang seharusnya menjadi acuan daerah lain dalam Pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang dalam wilayah provinsi terkait dengan investasi besar. Atau begitu juga dengan pemberian izin pabrik semen yang mengeksploitasi kawasan batu gamping yang seharusnya mengkaji potensi dan ancaman perubahan bentang alam batu gamping secara komprehensif dengan mengedepankan kebutuhan air, yang memanfaatkan hasil alam non tambang yang terkelola secara trans generasi. Itu dari sisi investasi daerah dan hubungannya ke bencana kegagalan teknologi, Bagaimana dengan Banjir? Tanah longsor? Itu kita belum curhat lagi masalah korupsi atau oknum aparat yang bermain mata menghajar isi hutan-hutan kita.
Bolehlah kita sebut RPJM kita pro investasi. Sehingga, penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi di sebuah provinsi yang dapat meningkatkan bencana, misalnya bencana kekeringan akibat penambangan semen seharusnya memiliki perencanaan yang jelas sejak perencanaan hingga pasca tambang. Atau perubahan fungsi hutan yang jadi perkebunan atau permukiman yang berpotensi banjir dan longsor juga layak dianalisis bukan hanya keuntungannya semata. Penetapan dokumen lingkungan yang transparan dan berdasarkan analisis komprehensif dengan melibatkan masyarakat, persyaratan dan breakdown rencana-rencana rehabilitasi atau reklamasi perlu dijabarkan lebih jelas, serta penyertaan kajian pendukung seperti High Conservation Value Forest, Kajian Lingkungan HIdup Stratetgis (KLHS), hingga Biodiversity Management Plan terimplemenstasi dalam pemanfaatan ruang-ruang investasi di satu daerah. Hal ini membuka ruang partisipasi aktif dunia usaha dalam upaya-upaya pengurangan risiko bencana.
Dampak yang ditimbulkan oleh bencana sejatinya mengancan keberlanjutan konsep kota apapun namanya sedari megapolitan ataupun kota tangguh. Sebenarnya ini muncul dari belum terintegrasinya pengorganisasian aspek penting seperti visi dan misi daerah di dalam rencana pembangunan, kewenangan dan sumber daya yang telah dilembagakan untuk pengurangan resiko bencana, serta adanya mekanisme yang memprioritaskan sumber daya (baik sumber daya manusia maupun sumber daya alam) untuk menurunkan risiko bencana baik yang telah diidentifikasi maupun bencana-bencana besar yang pernah terjadi sebagai pembelajaran.
Di sisi lain, adanya kesenjangan kesempatan masyarakat terhadap akses penghidupannya serta ancaman terhadap hilangnya kebutuhan utama seperti air, udara yang bersih, serta penghasilan akan mengancam peranan masyarakat dan lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di lingkungan dalam perencanaan, implementasi, serta pengawasan dan evaluasi RPJM daerah. Sesuai dengan arah kebijakan dalam RPJMN, penanggulangan bencana merupakan tanggung jawab semua pihak. Untuk itu, peranan Pemangku Kepentingan, masyarakat, LSM, swasta sangat penting. Pemikiran terhadap penanggulangan bencana harus dipahami dan diimplementasikan oleh semua pihak sebagai suatu risiko yang harus secara serius disikapi dalam perencanaan pembangunan di daerah. Di samping itu, ketimpangan peranan pihak non pemerintah dalam penanganan bencana menyebabkan kendala pada koordinasi lintas sektor semakin meningkat. Sebagaimana diketahui, koordinasi sangat diperlukan dalam pelaksanaan rencana aksi, pengendalian rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana yang terintegrasi antar seluruh Pemangku Kepentingan dan penggiat rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah pasca bencana yang diketahui adalah masyarakat, LSM, dan dunia usaha.
Jadi, RPJM sudah pasti perlu. Ruang investasi juga diperlukan dalam pembangunan. Bahkan partisipasi semua pihak juga telah dilakukan. Tapi yang belum ternyata itu semua tidak dibuat berwawasan pengurangan risiko bencana.