Warisan Pusaka Karst Lhok Nga
June 15th, 2008 | Published in Entrance | 6 Comments
Oleh: Yenni Rahmayati
Kawasan Lhoknga, Leupung dan Puekan Bada berpotensi besar sebagai kawasan wisata pusaka baik itu berupa wisata pusaka budaya, pusaka sejarah (terutama sejarah perang dunia kedua) maupun pusaka tsunami
LATAR BELAKANG
Sejarah Aceh yang panjang sejak jaman kejayaan kerajaan Aceh, masuknya Islam ke wilayah kepulauan Indonesia, perdagangan dengan bangsa-bangsa asing, masa penjajahan kolonial hingga konflik bersenjata telah menciptakan kharakter khusus yang membedakan Aceh dari wilayah lainnya di Indonesia. Sejarah panjang ini juga telah mempengaruhi dan memperkaya kekhasan budaya Aceh, salah satunya tercermin dalam bentuk-bentuk peninggalan pusaka (heritage) Aceh baik yang maya maupun nyata seperti situs-situs arkeologi masa lalu seperti sisa-sisa bangunan istana raja, benteng, makam-makam bersejarah, mesjid dll. Tidak ketinggalan pula bangunan kolonial peninggalan Belanda seperti makam, tugu-tugu, monument dan lain sebagainya serta bangunan traditional Aceh yang diwakili oleh ”Rumoh Aceh“, tetap menjadi kharakteristik utama dari warisan pusaka Aceh hingga saat ini. Sementara itu, wilayah Aceh juga kaya akan pusaka yang tidak nyata (maya) seperti cerita rakyat (hikayat), tradisi masyarat yang berhubungan dengan keagamaan, mata pencaharian, budaya dan lain lain seperti kenduri, peusijuk, upacara kelahiran, perkawinan dan lain sebagainya. Sementara jenis kesenian Aceh juga bervariasi mulai dari tari-tarian, nyanyian, dan bentuk-bentuk budaya lainnya juga ikut memperkaya pusaka Aceh secara keseluruhan. Survei/ inventori warisan pusaka Aceh ini meliputi wilayah Kabupaten Aceh Besar, Nanggroe Aceh Darussalam yang difokuskan khususnya pada 3 kecamatan yaitu: Peukan Bada, Lhoknga dan Leupung.
Survei/inventori warisan pusaka Aceh ini meliputi enam tahapan kegiatan yaitu: Desk Review melalui studi literatur dan pembekalan; pengumpulan data lapangan melalui survei; Analisa data; Validasi data; Finalisasi data; Penyusunan laporan akhir. Dari kegiatan Kegiatan survei/ inventori warisan pusaka Aceh ini diharapkan membentuk basis data yang komprehensif dan stuudi potensi warisan pusaka Aceh; serta melahirkan rekomendasi terhadap usaha-usaha lebih lanjut dari pelestarian warisan pusaka Aceh yang terdapat di kawasan tersebut.
PEMBAHASAN
KATEGORI WARISAN PUSAKA
Katagori warisan pusaka yang disurvei meliputi:
1. Warisan Pusaka Terukur (Tangible)
– Warisan pusaka bawah air
– Lingkungan binaan/arsitektur
– Bangunan/situs purbakala (seperti benteng, makam, tugu, dll)
– Arsitektur tradisional
– Arsitektur kolonial
– Karakter lansekap/bentang alam
– Benda Budaya (kerajinan tangan, alat musik, senjata tradisional, tenunan, makanan tradisional, dll)
2. Warisan Pusaka Tidak Terukur (Intangible)
– Dongeng/Cerita Rakyat
– Tradisi dan Kebiasaan Hidup
– Ritual-ritual (Agama, Budaya, Matapencaharian, dll)
– Tarian/Nyanyian
– Dll
3. Warisan Pusaka Tsunami
– Kuburan massal
– Benda/bangunan/vegetasi yang mengandung cerita/sejarah kejadian tsunami
– Dll
DATA YANG DIKUMPULKAN
Data yang dikumpulkan dalam proses survei hingga hasil akhir berupa:
– Informasi tertulis (literatur) dan verbal (wawancara);
– Foto;
– Peta;
– Sketsa-sketsa
– Dll
Warisan Pusaka Budaya Terukur/Tangible (Bangunan dan situs)
Survei/inventori warisan pusaka Aceh terukur/tangible berupa bangunan dan situs yang dilakukan di Aceh Besar meliputi kawasan Lhoknga dan sekitarnya berhasil mengumpulkan 8 bangunan dan situs pusaka yaitu:
1. Pelabuhan Pulo Kapok
Berlokasi di Krueng Raba, Kecamatan Lhoknga-Aceh Besar. Pelabuhan ini dibangun sekitar tahun 1942 oleh tantara Jepang yang awal penggunaannya berfungsi sebagai pelabuhan kapal. Dibangun pada tahun kedua setelah Jepang mendarat di Aceh. Saat ini bangunan sudah tidak utuh lagi hanya tertinggal sisa-sisa dermaga. Pelabuhan ini pernah menjadi pusat perdagangan dan industri di Lhoknga. Disamping pelabuhan ini, masih terdapat rangka kapal karam di perairan sekitar lokasi pelabuhan.
2. Titi Jepang (Jembatan Jepang)
Berlokasi di Desa Naga Umbang, Kecamatan Lhoknga-Aceh Besar. Jembatan ini dibangun oleh Jepang sekitar tahun 1950 dan berfungsi sebagi jembatan penyebarangan di Sungai Krueng Raba. Kondisi tiang jembatan saat ini sudah mulai keropos. Pada tahun 1982, jembatan telah mengalami perbaikan oleh PT. Semen Andalas Indonesia (SAI), namun saat ini tiang-tiang jembatan mulai keropos.
3. Benteng Jepang (1)
Berlokasi di Mukim Lampuuk, Kecamatan Lhoknga, Aceh Besar. Benteng ini dibangun sekitar tahun 1941 yang berfungsi sebagai benteng pertahanan tentara Jepang. Benteng yang terletak tidak jauh dari bekas lapangan terbang Maimun Saleh ini juga dilengkapi dengan sumur yang terletak tidak jauh dari Benteng. Sekarang bangunan ini tidak berfungsi lagi sebagai mana fungsi awalnya.
4. Benteng Jepang (2)
Berlokasi di Desa Lampaya, Kecamatan Lhoknga, Aceh Besar. Bentuk benteng ini memiliki kemiripan dengan Benteng Jepang di Lampuuk dengan fungsi yang sama. Diduga kawasan ini merupakan salah satu pusat pendudukan tentara Jepang.
5. Bekas Lapangan Terbang Maimun Saleh
Berlokasi di Kelurahan Mon Ikeun, Kecamatan Lhoknga-Aceh Besar. Lapangan terbang ini dibangun sekitar tahun 1941 oleh Jepang dan merupakan lapangan terbang pertama di Aceh, namanya diambil dari nama salah satu pilot pertama dari Aceh. Lapangan terbang ini tidak berfungsi lagi dan sekarang digunakan sebagai lapangan sepak bola.
6. Rumah Belanda
Berlokasi di Desa Keude Bieng, Kecamatan Lhoknga-Aceh Besar
Bangunan rumah bergaya kolonial Belanda ini dibangun sekitar tahun 1896 dan awalnya digunakan sebagai rumah tinggal pejabat tinggi Belanda. Bangunan ini telah mengalami banyak renovasi namun ciri khas kolonialnya masih kelihatan jelas. Saat ini ditempati sebagai rumah tinggal penduduk. Bangunan ini merupakan salah satu warisan pusaka kolonial Belanda di Aceh Besar.
7. Kapal Pusaka Tsunami
Berlokasi di Desa Mon Ikeun, Kecamatan Lhoknga-Aceh Besar. Kapal ini dulu merupakan kapal pengiring yang mengiringi kapal besar yang akan berlabuh. Kapal yang merupakan milik PT. Semen Andalas Indonesia (SAI) ini berpindah lokasi setelah tsunami dan terhempas sekitar 500m dari lokasi semula. Banyak bagian kapal yang telah mengalami keropos.
Berlokasi di Desa Lampisang, Kecamatan Peukan Bada-Aceh Besar. Bangunan ini dibangun sekitar tahun 1981-1982 sesuai aslinya di lokasi semula, sementara rumah yang asli telah dibakar tentara Belanda dalam masa perang Aceh 1893. Bangunan ini dikelola oleh pemerintah dan berfungsi sebagai museum terutama menyimpan koleksi data sejarah peninggalan/ yang berhubungan dengan Tjut Nyak Dhien dan Teuku Umar. Bangunan ini menjadi salah satu objek wisata budaya dan sejarah Aceh. Cut Nyak Dhien adalah seorang pahlawan wanita Aceh yang terkenal. Beliau merupakan istri dari Teuku Umar yang juga merupakan pahlawan Nasional dari Aceh. Cut Nyak Dhien melanjutkan perjuangan suaminya melawan penjajahan Belanda pada masa perang Aceh.
Warisan Pusaka Budaya Terukur/Tangible (Benda Budaya)
Survei/ inventori warisan pusaka Aceh terukur/ tangible berupa benda budaya yang dilakukan di Aceh Besar meliputi kawasan Lhoknga dan sekitarnya berhasil mengumpulkan 15 item benda budaya yaitu:
1. Eungkot Keumamah
Keumamah merupakan ikan yang diawetkan menggunakan abu dan asam yang dijemur selama berhari-hari hingga kering. Keumamah juga selalu dibawa ketika masa perang karena bahan makanan ini dapat bertahan lama.
2. Boh limeng sunti (asam sunti)
Asam sunti dibuat dari belimbing wuluh (belimbing sayur) yang telah dikeringkan dengan menggunakan garam. Pada masa perang, bumbu masakan ini selalu dibawa karena dapat bertahan lama.
3. Dodoi (dodol) Aceh
Dodol Aceh berbeda dengan dodol dari kawasan lain, karena dibuat dalam wadah besar atau talam yang digunakan pada saat acara perkawinan. Kue ini lebih tahan lama dari kue-kue khas Aceh lainnya.
4. Peunajoh
Kue ini lazimnya digunakan sebagai hantaran pada acara perkawinan.
5. Kue Bhoi
Berfungsi sebagai hidangan bagi tamu dan sebagai ”hantaran” pada acara perkawinan. Kue ini merupakan kue khas Aceh ketika berkunjung dan lazim dibawa sebagai hadiah.
6. Kue Meusekat
Kue meusekat merupakan kue yang dipersembahkan kepada tamu istimewa dan kue yang khusus dibuat untuk perayaan dalam upacara adat perkawinan masyarakat Aceh.
7. Karah
Kue ini biasanya dihidangkan kepada tamu sebagai penganan. Juga sebagai ”hantaran” dalam upacara perkawinan.
8. Kue Prot
Kue yang lazim dihidangkan untuk menjamu tamu.
9. Kupiah Meukutop
Dahulu berfungsi sebagai penutup kepala bagi para raja dan bangsawan. Saat ini lazim digunakan dalam acara adat seperti upacara pernikahan.
10. Sudahan
Sudahan merupakan tempat menampung air liur yang biasanya diletakkan di dekat tempat tidur yang didalamnya dimasukkan tanah. Pada malam hari, masyarakat Aceh membuang air liur kedalam sudahan, jadi tidak perlu keluar rumah.
11. Rencong
Berfungsi sebagai senjata khas Aceh. Saat ini lazim dipakai sebagai aksesoris pelengkap pakaian tradisional Aceh untuk kaum pria. Merupakan senjata tusuk yang sudah ada sejak masa kepemimpinan sultan Ali Mughayatsyah ketika berperang melawan Portugis. Menurut nara sumber, bentuk rencong merupakan bentuk huruf Arab pertama yaitu ”Alif”, menandakan bahwa kehidupan orang Aceh identik dengan kehidupan beragama.
12. Batee Ranup
Batee ranup terbuat dari tembaga sebagai tempat untuk meletakkan bahan-bahan pembuatan sirih.
13. Siwaih (Shiwah)
Merupakan senjata tusuk yang khusus digunakan oleh para bangsawan dan juga merupakan benda (senjata) yang sakral karena sering digunakan dalam penyematan pada saat upacara adat.
14. Klewang
Berfungsi sebagai senjata dan alat pemotong
15. Kue Wajeb
Kue ini juga merupakan kue yang dipersembahkan kepada tamu istimewa dan kue yang khusus dibuat untuk perayaan dalam upacara adat perkawinan masyarakat Aceh.
Warisan Pusaka Budaya Tidak Terukur/ Intangible
Untuk survei/ inventori warisan pusaka Aceh tidak terukur/ tangible di Aceh Besar difokuskan pada 9 desa di 3 kecamatan yaitu:
1. Desa Naga Umbang, Kecamatan Lhoknga
2. Desa Lamkruet, Kecamatan Lhoknga
3. Desa Mon Ikeun, Kecamatan Lhoknga
4. Desa Keude Bing, Kecamatan Lhoknga
5. Desa Dea Baroh, Kecamatan Leupung
6. Desa Lamsenia, Kecamatan Leupung
7. Desa Meunasah Tuha, Kecamatan Peukan Bada
8. Desa Lampisang, Kecamatan Peukan Bada
9. Desa Lam Awe, Kecamatan Peukan Bada
Katagori warisan tidak terukur yang disurvei berupa:
1. Tradisi lisan
2. Pengetahuan & Praktek
3. Ritual & Festival
4. Alam dan lingkungan
5. Pertunjukan Seni
6. Kegiatan Sosial
Dari hasil survei diperoleh beberapa warisan pusaka yang terukur yang masih terpelihara keberadaannya dengan tingkat kemusnahan yang berbeda-beda diantaranya:
- Dalail Khairat (ritual pembacaan doa dengan skala Gampong dan waktu pelaksanaan seminggu sekali bertempat di Meunasah)
- Kenduri Blang (ritual upacara yang berhubungan dengan pertanian, dilaksanakan setahun sekali dengan skala Mukim)
- Kenduri Laot (ritual upacara yang berhubungan dengan kelautan, dilaksanakan setahun sekali dengan skala Mukim)
- Kenduri Maulid (ritual upacara yang berhubungan dengan keagamaan, dilaksanakan setahun sekali skala Mukim)
- Kejruen Uten (ritual yang berhubungan dengan kehutanan)
- Rebana (kesenian tradisional, nyanyian berisi pesan-pesan keagamaan yang diiringi dengan alat musik tepuk/rebana)
- Wirid (acara pengajian berskala Gampong diadakan seminggu sekali di rumah atau di Meunasah)
- Rapa’i Geleng (kesenian tradisional, nyanyian dan gerakan yang berisikan pesan-pesan keagamaan)
- Seudati (kesenian tradisional, nyanyian dan gerakan yang berisikan pesan-pesan keagamaan)
- Tari Tarik Pukat (kesenian tradisional, berupa tarian yang melambangkan tradisi mencari ikan di laut)
- Tari Ranub Lampuan (kesenian tradisional, berupa tarian yang dilakukan khususnya dalam rangka penyambutan tamu)
- Peusijuk/tepung tawar (ritual mendapatkan berkat untuk berbagai keperluan seperti, kelahiran, kematian, naik haji, menempati rumah baru, hajatan dan lain sebagainya)
- Kenduri Assyura (ritual upacara yang dilaksanakan setahun sekali dengan skala Gampong)
- Buleun Apam (ritual kegiatan memasak kue apam/serabi, dilaksanakan setahun sekali dengan skala Kecamatan)
KESIMPULAN
Warisan Pusaka Budaya Terukur/Tangible (Bangunan dan situs)
- Jenis warisan pusaka terukur berupa bangunan dan situs di wilayah Aceh Besar ini bervariasi mulai dari rumah, jembatan, benteng dan lapangan terbang. Didominasi oleh pusaka peninggalan kolonial Jepang dan pusaka Tsunami. Sayangnya pusaka bangunan tradisional telah banyak yang hilang di wilayah ini setelah tsunami, padahal dulunya masih banyak ditemukan rumah-rumah tradisional Aceh di sekitar lokasi ini. Jenis kondisi pusaka terukur yang tersisa sebagian besar kurang terawat. Secara kawasan, lokasi ini sangat bersejarah karena merupakan salah satu basis dari tentara Jepang dalam masa Perang Dunia II.
- Warisan Pusaka Budaya Terukur/Tangible (Benda Budaya)
- Jenis Pusaka terukur berupa benda budaya dikategorikan menjadi beberapa katagori, yaitu makanan, senjata dan benda seni. Benda budaya yang berupa makanan masih terawat dan lestari. Keberadaannya secara turun temurun masih terus terpelihara. Berbeda dengan senjata dan benda seni yang keberadaannya perlahan-lahan mulai hilang dan sulit ditemukan, jikapun ada, pada umumnya berada dalam kondisi yang kurang terawat.
Warisan Pusaka Budaya Tidak Terukur/ Intangible
Untuk pusaka tidak terukur, dari 3 kecamatan yang disurvei, Kecamatan Lhoknga memiliki pusaka yang paling banyak dari sisi jumlah dan jenisnya. Sayangnya sebagian besar pusaka tersebut memiliki tingkat keaktifan yang rendah sehingga mengancam kepunahannya. Begitu juga yang dialami dengan Kecamatan Leupung dan Peukan Bada.
REKOMENDASI
Dari hasil analisa survei/inventori warisan pusaka Aceh, diusulkan beberapa rekomendasi seperti di bawah ini:
- Kawasan Lhoknga, Leupung dan Puekan Bada berpotensi besar sebagai kawasan wisata pusaka baik itu berupa wisata pusaka budaya, pusaka sejarah (terutama sejarah perang dunia kedua) maupun pusaka tsunami
- Perlu adanya usaha-usaha perawatan dan pelestarian situs-situs bersejarah serta perbaikan akses infrastruktur maupun akses informasi berupa plakat, penjunjuk arah dan lain sebagainya
- Perlu adanya program penyadaran publik tentang keberadaan pusaka Aceh terutama pusaka tidak terukur yang sangat rentan terhadap kepunahanPerlu adanya program pemberdayaan masyarakat setempat untuk terlibat dalam industri wisata dimana mereka mampu mengelola sendiri kawasan wisata ini secara swadaya dan mendapat manfaat ekonomi dari bisnis yang diciptakan
- Makanan tradisional yang menjadi ciri khas wilayah ini perlu terus dilestarikan melalui penggalakan kegiatan promosi
- Perlu adanya usaha-usaha untuk melestarikan tradisi-trasidi lokal yang dapat menjadi atraksi wisata budaya
- Perlu dilakukannya penelitian lebih khusus lagi untuk menganalisa tingkat kepunahan pusaka terutama untuk warisan pusaka tidak terukur, sehingga bisa dipikirkan langkah-langkah penyelematan dan pelestariannya.
BIBLIOGRAPHY
- Asia/Pacific Cultural Centre for UNESCO (ACCU) (2004) “ACCU Programme Series on Intangible Cultural Heritage in Asia and the Pacific, 2004 Workshop in Inventory-making for Intangible Cultural Heritage Management, Tokyo, Japan.
- Aceh Heritage Community Foundation (2007) “Term of Reference. Publication of Inventory of Heritage Sites and Buildings in Aceh Post- Tsunami 26 December 2004”.
- Centre for Coastal and Marine-Resources Studies at the Bogor Agricultural University (2007) “Preparation of environmental impact assessment of Calang port, Aceh Java”
- Gadjah Mada University Press (1997) “The Republic of Indonesia Law No. 5/1992 Regarding Cultural Heritage, in Preservation and Conservation of Cultural Heritage in Indonesia”, Yogyakarta, Indonesia.
- ICOMOS Indonesia (2003) “Indonesia Charter for Heritage Conservation”.
- Lembaga Adat dan Kebudayaan Aceh (LAKA (1990), ”Pedoman Umum Adat Aceh”, Banda Aceh
- Lestari Heritage Website www.lestariheritage.net/aceh/webpages/inventory01.html
- Nas, Peter J.M (1997) “Ethnic identity in urban architecture Generations of architects in Banda Aceh”.
- Perang Kolonial Belanda Di Aceh, The Dutch Colonial War in Aceh (1990) 2nd Ed, Banda Aceh, frontispiece.
- Rahmayati, Y (2007) “An overview of Banda Aceh Cultural Heritage”, unpublished report for ERM
- Rahmayati, Y. (2007) “Protection of Heritage in Natural Disasters Case Study Aceh Region-Indonesia”.
- Roskies, D. M. (1999) “Aceh: Art and Culture” The Journal of The American Oriental Society 119.
- Talsya, T (1994), ”Adat dan Budaya Aceh, Nada dan Warna”, Banda Aceh
July 2nd, 2008at 8:22 am(#)
Salam,
Salutnya saya sama KArst Aceh, saya cuma dengar dari beberapa teman-teman di Sulawesi, Irian, Kalimantan dan JAwa juga melakukan penelitian arkeologi dan palaentologi..saya terfikir, contoh penelitian (ataupun apa namanya seperti survey) yg dilakukan thdp warisan budaya yang dilakukan Karst Aceh patut juga dilakukan oleh teman-teman yang lain..budaya yang terwarisi ini saya sangat yakin bahwa: dalam tahap beranjak punah.
salut, dan salam
July 7th, 2008at 4:55 pm(#)
salam lestari..
seperti kata domba, saya juga salut dengan kawan-kawan semua. Selama ini pengetahuan tentang kawasan karst sangat buram di aceh, padahal aceh adalah surganya kawasan karst. ini tidak sebanding dengan jumlah pertambangan yang ada di aceh, yang semakin rakus mengeksploitasi kawasan karst, yang merupakan harta orang aceh.
saya punya saran, kapan kawan-kawan bisa membuat suatu pendidikan tentang kawasan karst, kalu tidak mau mendengar dan melihat harta kita habis di eksploitasi.
setau saya sangat sedikit (jika tak mau dibilang tidak ada) sosialisasi kawasan karst oleh perusahaan pertambangan yang ada di aceh bahkan di indonesia.
selamatkan karst sekarang juga!!!
October 4th, 2008at 10:09 am(#)
Menarik sebagai bahan referensi, salah satu study kasus ‘Cultural Revitalization of Kars: Conservation, Living Culture Preservation and Socio- Economic Development in Kars, Anatolia, Turkey’ bisa dibaca di link di bawah ini:
http://www.globalheritagefund.org/where/kars_scroller.html
Salam lestari,
yeyen
Aceh Heritage Community
September 7th, 2009at 4:57 am(#)
Terima kasih, telah mempublish temuannya tentang Warisan Pusaka Lhoknga, Kabupaten Aceh Besar. Kalau memungkinkan, tolong, Karst mendapat bahasan yang agak lebih panjang lagi. Soalnya,saya, dan juga banyak pembaca lainnya yang masih awam tentang karst beserta segala aspeknya. Dalam tulisan, yang hasil riset anda, keberadaan karst masih belum mendapat bahasan yang memadai sebagaimana judulnya.
salam
Taqwaddin
Dosen Fakutas Hukum Univ. Syiah Kuala
January 15th, 2010at 4:42 pm(#)
KArst Aceh;
Menjemput Aceh Raya,
Menuju Melayu Raya…
February 9th, 2012at 7:28 am(#)
Salam,Untuk maenapatkdn jurnal silahkan anda tanyakan ke distributor kami yaitu Yayasan Obor apakah masih tersedia, terimakasih.