KAWASAN KARST NAGA UMBANG LHOK NGA

May 9th, 2009  |  Published in Entrance  |  2 Comments

Oleh: Abdillah Imron Nasution

Dibutuhkan data multisektoral dalam membuat konsep pengelolaan Kawasan Karst di Aceh.

Kawasan Karst adalah kawasan batu gamping atau dolomit yang bentukan bentang alamnya berkembang pada batuan karbonat yang mudah larut, sebagai akibat dan proses pelarutan oleh air dengan kata lain, Karst adalah bentuk bentang alam pada batuan karbonat yang ditandai oleh fenomena khas, dolina, gua, speleotem, aliran sungai bawah tanah dan kenampakan alam lainnya yang terjadi oleh proses perekahan dan pelarutan.

Kawasan karst merupakan salah satu sumber daya alam non-hayati yang tidak dapat diperbaharui karena pembentukannya memerlukan waktu jutaan tahun. Kawasan karst didalamnya terdapat juga sumber daya alam hayati yaitu flora dan fauna yang perlu dilindungi dan mempunyai peranan penting dalam ekosistemnya. Namun kondisi ini belum mendapat perhatian yang besar baik dari pemerintah maupun masyarakat, baik dalam hal eksplorasi, konservasi, maupun eksploitasi kawasan karst. Di kalangan ahli lingkungan, kawasan karst merupakan kawasan yang sangat peka terhadap perubahan lingkungan. Hal ini disebabkan kawasan karst memiliki daya dukung yang rendah, dan sukar diperbaiki jika sudah terlanjur rusak. Salah satu kawasan karst di Nanggroe Aceh Darussalam yang memiliki nilai penting bagi manusia adalah Kawasan Karst Naga Umbang-Lhok Nga Aceh Besar.

Naga Umbang adalah nama sebuah desa yang berdiri sejak masa pemerintahan kesultanan Iskandar Muda. Nama Naga Umbang sendiri berasal dari satu peristiwa yang terjadi pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda yang memerintahkan penggalian Krueng Raba untuk memperoleh aliran sungai baru yang menuju Pendopo kerajaan. Naga Umbang secara administratif terletak di Kecamatan Lhok Nga Kabupaten Aceh Besar Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Kawasan ini berjarak 15 km dari kota Banda Aceh dan dapat ditempuh selama 20 menit. Desa Naga Umbang berjarak 4-6 km dari laut. Kawasan ini berbatasan dengan Desa Lambaro Kueh dan Aneuk Paya di sebelah utara, dengan Krueng Raba di sebelah Barat dan selatan, dan daerah perbukitan di sebelah timur. Sebagian besar masyarakat Naga umbang bergerak di bidang pertanian, perdagangan, jasa, sektor pertanian yang masih mengandalkan sistem pertanian tadah hujan, penanaman padi hanya berlangsung pada musim penghujan untuk musim kemarau diselingi dengan tanaman palawija.

Keterangan: Kemiringan Lereng, 1:>18%, 2:>12 dan <18%, 3:>6% dan <12%, 4: >2% dan <6%, 5:<=2%

Kawasan karst Naga Umbang terbentang dengan pada ketinggian 50 hingga 1000 mdpl. Komponen geologi kawasan ini terletak pada Formasi Raba dengan batu gamping terumbu yang memiliki sifat yang baik terhadap proses kartifikasi (pelarutan batu gamping). Ketinggian bukit karst bervariasi hingga kurang dari sepuluh meter hingga mencapai 80 meter. Selain bentuk menara, bentuk kerucut juga banyak ditemukan di kawasan yang berdasarkan analisa GIS memiliki nilai kemiringan lereng (>18%) yang berpotensi tinggi untuk revitalisasi air.

Potensi Gua di Naga Umbang

Menurut bentuk dan fungsi gua sebagai fungsi revitalisasi air, gua dibagi dalam 3 jenis, yaitu freatic (gua air), vadose (gua basah), dan fossil (gua kering). Gua freatic dan vadose merupakan bentang alam pendukung bagi permeabilitas air. Dari 8 gua di kawasan studi terdapat dua zona dengan kerapatan kelas 1, dan 3 gua yang tidak berdiri sendiri, dan terdapat 6 gua dengan permeabilitas tertinggi.

Dari hasil analisis GIS juga diperoleh bahwa kawasan dengan kerapatan gua yang tinggi ini memiliki jarak kurang dari 5 km dari pabrik semen. Pada analisis jarak keberadaan pabrik semen dengan permukiman juga didapatkan keberadaan pabrik semen kurang dari 5 km dari permukiman.

Keterangan: Kerapatan Gua Kelas I di Naga Umbang

Komponen keanekaragaman hayati dibagi dalam beberapa kriteria, yaitu: biospeleologi, vegetasi, dan fauna. Di salah satu gua ditemukan sejenis ngengat di zona peralihan yang motif sayapnya menyerupai burung hantu. Jenis ini kami nyatakan sebagai jenis endemis di Naga Umbang.

Selanjutnya ditemukan lima ratusan kelelawar penyerbuk buah yang habitatnya di pohon-pohon yang dulu merupakan hutan dengan kerapatan vegetasi rendah, saat ini akan tergusur oleh aktivitas galian C yang hanya berjarak 10 meter dari tempat ia bertempat tinggal. Menurut data BPS untuk tahun 2005, banyaknya durian Kecamatan Lhok Nga tersisa 15 batang pohon dengan produksi buah durian sebesar nol kwintal.

Penurunan ini rupanya diwarisi sejak dari tahun 2000 dimana terdapat 6125 batang pohon durian namun mengalami penurunan di tahun 2004-2003 sebanyak 3125 batang durian. Belum lagi potensi biologi kelelawar di dalam delapan gua yang ada dimana teridentifikasi sebagai mammalia jenis Megaderma sp yang berpotensi sebagai insektisida alami, dan guanonya yang mengandung fosfat yang tinggi. Analisa komposisi tanah di kawasan Naga Umbang menunjukkan angka kandungan fosfat yang sangat tinggi. ini merupakan pote

nsi besar untuk perkembangan pertanian masyarakat Naga Umbang dan sekitarnya. Bandingkan dengan data BPS tahun 2001 yang menyebutkan bahwa Indonesia mengeluarkan devisa sebesar 9 trilyun lebih untuk mengimpor kebutuhan fosfat untuk pupuk pertanian.

Analisa GIS yang dibuat dengan kompilasi daerah jelajah kelelawar (45 km) menunjukkan potensi yang besar dalam memberantas serangga hama dan penyerbukan durian hingga menjelajahi empat kecamatan yang ada di Kawasan wilayah Aceh Besar, yaitu Leupung, Darul Imarah, Simpang Tiga, dan Darul Kamal.

Keterangan: daerah jelajah Kelelawar hingga empat kecamatan di Aceh Besar

Desa Naga Umbang yang memiliki bentangan alam karst yang memulai budidaya sarang walet gua sejak tahun 1985, dan mulai diatur pengelolaannya kepada pihak swasta oleh Pemda Kabupaten Aceh Besar sejak 1995. Gua yang dikenal dengan nama gua uleue atau gua ular karena bentuknya berkelok-kelok seperti ular memiliki populasi burung walet jenis Sriti (Collocalia esculenta) dalam jumlah ribuan dimana pada akhir 90 an mampu memproduksi sarang walet sebanyak 400kg per masa pemanenan.

Desa Naga Umbang yang terletak di Kecamatan Lhoknga setiap tahunnya memberikan kontribusi bagi PAD Pemkab Aceh Besar melalui asset daerah mereka yaitu gua sarang walet. Pengelolaan sarang walet dilakukan setiap bulan oktober di kota Jantho, setelah melalui proses pelelangan dengan pembukaan harga 600 juta maka gua sarang walet akan dikelola oleh pemenang tender yang memberikan harga tertinggi. Bagi masyarakat local keberadaan gua sarang walet di desa Naga Umbang adalah sebagai sebuah lapangan pekerjaan, dimana pengelolaan sarang burung walet ini menyerap 24 orang tenaga kerja sebagai penjaga, dan 22 orang tenaga kerja pemanenan.

Dari hasil inventarisasi satwa dengan metode langsung dan tidak langsung yang dilakukan, diidentifikasi 16 jenis aves, 6 mammalia, 4 reptilia, dan 6 jenis insekta. Populasi vegetaasi pada Hutan primer kawasan karst Naga Umbang adalah 49 jenis dan 74 jenis pada hutan sekunder.

Berdasarkan hal tersebut, kawasan Karst Naga Umbang adalah Kawasan Karst Penting yang terdapat di Kawasan Karst Lhok Nga Aceh Besar. Sangat dibutuhkan data multi sektoral lainnya yang nantinya sangat dibutuhkan dalam membuat konsep pengelolaan yang dipersiapkan untuk pemanfaatan sumber daya alam yang dilakukan secara terencana, rasional, optimal, bertanggung jawab dan sesuai dengan kemampuan daya dukungnya dengan mengutamakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat serta memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup.

Responses

  1. fadinila geologi undip says:

    May 24th, 2009at 5:39 am(#)

    two thumbs up..
    pretty nice..
    could be help for me

  2. darussalam says:

    June 16th, 2009at 9:09 am(#)

    Irwandi Yusuf apa Bapak sebagai Gubernur tidak mengetahui potensi ini??

Leave a Response

You must be logged in to post a comment.