Terkait CSR di Lhoknga

December 21st, 2010  |  Published in Entrance  |  1 Comment

CSR dan tanggung jawab komunitas

oleh: abdillah i nasution

Konflik panjang antara PT Semen Andalas Indonesia (SAI-sekarang bernama Lafarge Cement Indonesia/ LCI) dengan masyarakat Kecamatan Lhoknga dan Leupung, Aceh Besar, akhirnya menghasilkan kesepakatan bahwa perusahaan semen ini menganggarkan Rp 3 miliar per tahun untuk program pengembangan masyarakat di dua kecamatan tersebut. Kesepakatan yang dituangkan dalam MoU yang ditandatangani Presiden Direktur PT SAI Marc Jarrault dan sejumlah mukim di Kecamatan Lhoknga, serta disaksikan Wakil Bupati Aceh Besar Anwar Ahmad dan Asisten II Setdaprov Aceh T Said Mustafa, dan sejumlah warga setempat di Pabrik PT SAI, Lhoknga Tanggal 12 November 2008. Ini merupakan hasil jerih aksi tuntutan masyarakat Lhoknga dan Leupung di akhir tahun 2007. Dasar perjuangan masyarakat yang berhimpun di dalam Komite Masyarakat Bersatu Lhok Nga-Leupung ini adalah seharusnya perusahaan mempunyai kepedulian sosial terhadap keberadaan dan pemberdayaan masyarakat setempat yang bertujuan perusahaan berperan aktif dalam menyukseskan pembangunan daerah.

Pembangunan suatu daerah, bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah saja, tetapi juga menjadi tanggung jawab bersama. Setiap insan manusia berperan untuk mewujudkan kesejahteraan sosial dan peningkatan kualitas hidup masyarakat. Demikian halnya dengan sebuah perusahaan. Sebuah perusahaan ikut bertanggung jawab dalam sebuah program yang dikenal dengan istilah Corporate Social Responsibility (CSR).

Istilah CSR semakin ekstensif digunakan oleh berbagai kalangan akademisi, aktivis sosial (LSM) dan terutama dari kalangan bisnis (sektor privat). Istilah ini bergerak menjadi trend bisnis terutama korporasi besar dan transnasional. Bahkan, CSR telah diregulasikan di Indonesia. Ini merupakan terobosan yang berani sebab isu CSR di lingkup internasional masih dalam perdebatan. Perdebatan ini antara mereka yang yang lebih mengedepankan pendekatan moral dan mereka yang menghendaki kewajiban.

Dilihat dari sisi makro-historis, sikap-sikap ini merupakan tindakan reaktif terhadap gelombang demokratisasi dan meningkatnya tuntutan agar perusahaan menghargai dan menjunjung tinggi nilai-nilai HAM serta melestarikan lingkungan dalam melakukan aktivitasnya. Di sisi lain, reputasi dan legitimasi sosial dari beberapa manfaat strategis yang diperoleh perusahaan, banyak CSR jelas didorong oleh profit oriented. Padahal, cakupan CSR seharusnya menyentuh komunitas, pekerja dan keluarga, konsumen, dan pemasok. Dengan kata lain, adalah CD (Community Development) bukan merupakan bentuk donasi sosial (charity) seperti sumbangan kepada korban bencana, bantuan beasiswa, bantuan pembangunan infrastruktur fisik. Hal ini didasarkan pertimbangan bahwa CD lebih merupakan pendekatan strategi dari pada sebuah program.

Dari sudut pandang aspek sustainable self-help (kemandirian yang berkelanjutan), pembangunan adalah sebagai proses yang merdeka menuju individu yang merdeka. Kemerdekaan bukan hanya berfungsi sebagai tujuan, tetapi juga sarana membebaskan diri dari sikap menghamba dan memperbanyak pilihan. Pola CSR yang karitatif tidak akan mampu mengakomodasi paradigma seperti ini karena pola karitatif tidak melibatkan proses yang partisipatif dan mencerahkan komunitas. Pola karitatif hanya melihat komunitas sebagai pihak yang membutuhkan bantuan. Dengan mengabaikan proses yang partisipatif maka visi mulia CSR sebagai pembangunan sulit untuk direalisasikan.

Perusahaan dalam kebijakan CSR juga cenderung sekedar memberikan layanan sosial yang paternalistis. Walaupun diakui terkadang berguna dalam jangka pendek, pada akhirnya cenderung menimbulkan sikap ketergantungan. Untuk itu, perlu dilakukan pembangunan kapasitas bagi komunitas sehingga diharapkan dapat mencari, menciptakan dan memanfaatkan peluang yang ada saat ini dan masa depan.

Kapasitas yang baik akan sangat berpengaruh dalam menyediakan alternatif tindakan anggota komunitas. Dengan peranan yang sedemikian besar itu, kapasitas yang baik akan menopang terciptanya pembangunan. kapasitas inilah yang menjembatani perbedaan nilai, karakter, kepentingan antara perusahaan, komunitas dan pemerintah. Aspek ini terstratifikasi atas berbagai kelas, golongan, dan kepentingan. Semuanya saling kait mengkait membentuk dinamika yang khas. Semua ini akan mempengaruhi program dan kebijakan CSR. Perusahaan dalam berhubungan dengan komunitas terkadang mengalami bias elit. Perilaku sosial perusahaan sangat dipengaruhi oleh atribut kekuasan dan kepentingan. Tidak mengherankan bila kemudian perusahaan lebih intens berhubungan dengan kelas elit dibandingkan non-elit di masyarakat. Permasalahannya adalah bukanlah pengembangan masyarakat yang akan diperoleh, melainkan pertentangan di dalam anggota komunitas itu sendiri. CSR justru dapat menjadi bumerang bagi eksistensi perusahaan. Perusahaan kehilangan legitimasi sosialnya. Program CSR yang tidak mempertimbangkan aspek tersebut akan memproduksi konflik antar anggota komunitas, komunitas dengan komunitas, serta komunitas dengan perusahaan.

Pada proses selanjutnya, cukup diperlukan pemicu akan terjadinya konflik terbuka antara perusahaan dan masyarakat. Jika skala konflik membesar, tidak menutup kemungkinan konflik akan melibatkan pemerintah sehingga konflik akan berlangsung meluas dan mengangkangi peran dan manfaat dari CSR itu sendiri. Hancurnya komunitas menyebabkan meningkatnya kerawanan sosial seperti meningkatnya tindakan kriminalitas. Perusahaan dapat dijadikan tersangka dalam sebuah peradilan hukum.

Responses

  1. agem says:

    June 1st, 2011at 6:03 am(#)

    Tulisan mantap Bang..
    proses (transaksi)nya harus dikawal secara bersama – sama agar tidak timbul deprivasi sosial..

Leave a Response

You must be logged in to post a comment.