Komentar atas artikel “Karst bukan bahan baku semen”

December 3rd, 2009  |  Published in Karstnomic

Ada satu artikel yang buat saya menarik untuk dikritisi dalam salah satu blog yang ditulis oleh EFFNU SUBIYANTO seorang MAHASISWA MAGISTER MANAGEMEN UGM dan PESERTA ISKF I di Yogyakarta, dan tulisannya juga terbit dalam majalah GAPURA pada tanggal 2 September 2008.

Artikel ini sangat perlu dikritisi agar ada “counter opinion” terhadap beberapa pernyataan dalam artikel tersebut.

Dari tinjauan judul saja yaitu “Karst bukan bahan Baku Semen” sudah terkesan adanya satu tujuan untuk sebuah pembenaran bagi aktivitas penambangan di kawasan karst. Definisi Karst sendiri menurut salah satu kamus online adalah “An area of irregular limestone in which erosion has produced fissures, sinkholes, underground streams, and caverns.” Dimana satu kawasan yang menunjukakn ciri-ciri seperti difinisi tersebut layak disebut sebagai karst yaitu adanya proses beberapa sistem perguaan, aliran sungai bawa tanah dan luweng. Nah, di Indonesia mayoritas semua penambangan batu gamping untuk semen di sekitar lokasi penambangan terdapat fenomena yang dapat dikategorikan sebagai karst. Salah satu penambangan di Tuban pun ada di dalam kawasan Karst karena sekitar 500 m dari kawansan penambangan terdapat gua yang dihuni ribuan kelelawar dan ada juga sistem sungai bawah tanah yang penting untuk ketersediaan air. Lantas dimana benarnya Karst bukan bahan baku Semen…, buat saya judul ini adalah sebuah pembelokan atau malah bisa dikatakan penyesatan. Mari kita baca lagi buku-buku tentang arti dan definisi karst dan aspek-aspeknya.

Kalau penambangan dilakukan berdasarkan ketentuan Kepmen ESDM perlu dilakukan kajian yang lebih mendalam baik dari sisi aspek SURFACE maupun UNDERGROUND. Nah dalam kepmen tersebut saja sudah ditentukan KLASIFIKASI KARST, yang ada Karst Kelas 1, 2 dan 3. Penambangan boleh di Karst Kelas 3 dan Karst Kelas 2 dengan AMDAL dll. Lantas, mengapa perlu dibuat klasifikasi KARST, kan untuk tujuan PENGELOLAAN Penambangan untuk bahan baku semen. Terus … kalau Karst bukan bahan baku semen, terus bahan baku semen ambil dari mana, mungkin tiu pertanyaan yang perlu di jawab oleh penulis.

Jadi dari sisi judul saja sebenarnya ada yang kurang pas namun, apapun itu Judul adalah hak prerogratif penulis sesuai dengan apa tujuan penulis.

Ada hal yang masih perlu ditinjau lagi seperti yang terkutip di bawah ini :

“Disinilah kekurangan para peneliti ISKF karena tidak memberikan rekomendasi alternatif dua arah secara berimbang dari sudut pandang peneliti dan kalangan bisnis sehingga mengurangi bobot penelitian. ”

Sebenarnya, sebuah bobot penelitian tidak hanya ditinjau dari apakah sebuah penelitian tidak berbobot karena tidak bisa menyelesaikan atau memberikan kontribusi terhadap permasalahan yang ada. Penelitian adalah sebuah proses dimana setiap peneliti ingin mencapai sesuatu yang buat peneliti penting untuk dijawab, sementara peneliti belum menitik beratkan pada permasalah lain yang muncul.

Terkadang banyak orang menuntut sebuah penelitian harus bisa menyelesaikan pernmasalahan bangsa, baik itu ketahanan pangan, energi terbarukan maupun aspek ekonomi kemasyrakatan bahkan konservasi dan pemanfaatan.

Padahal perkembangan ilmu Karst di Indonesia baru seumur jagung, kalau para penelitinya sudah dituntut unttuk bisa menyelesaikan bagaimana permasalahan antara konservasi dan pemanfaatan, sementara kita belum tahu apa-apa tentang karst dan seluk beluknya. Hal ini dikhawatirkan akan terjadin MISLEADING dalam menjawab pertnyaan karena menimnya data.

Sekiranya peneliti bisa menjawab bagaimana konservasi dan pemnafaatan bisa berjalan selaras, mungkinkah sektor bisnis bisa melakukan seperti yang diamanatkan oleh hasil PENELITIAN.

Sebagai contoh, dari sisi biologi suatu kawasan karst terdapat beberapa gua dengan populasi kelelawar, sebagai data dasar, sebelum dilakukan aktivitas di kawasan tsb dilakukan AMDAL untuk mengetahui seberapa besar populasi kelelawar dan hewan renik lainya di gua A.

Hasil AMDAL otomatis menjadi data dasar sebagai acuan belum adanya dampak, dari sini muncul rekomendasi untuk RKL/RPL, salah satunya melakukan pemantauan populasi kelelawar dan hewan renik lainnya di gua A sepanjang tahun sebanyak dua kali perbedaan musim.

NAh, apakah pelaku bisnis penambangan semen sudah melakukan ini ????

APakah pelaku pertambangan di Tuban sudah mempunyai data jenis kelelawar dan besaran populasinya tiap jenis dan bagaimana kecenderungannya sejak AMDAL sampai sekarang ….

kalau hal ini bisa dijawab oleh pelaku bisnis pertambangan gamping, para peneliti bisa membantu untuk bagaimana bisa ECO-FRIENDLy. Tapi kalau belum bisa menjawab pertanyaan itu, lebih baik introspeksi dan mengkoreksi apakah dulu AMDAL-nya benar atau memang hanya sekedar formalitas.

Kalau memang belum ada data, tentang biologi maupun aspek lain yang bisa dijadikan BASE LINE STUDY, lebih baik meninjau kembali rencana untuk membangun di kawasan baru.

Kalau aspek biologi tidak menjadi aspek yang penting, berarti aspek KESEIMBANGAN EKOLOGI telah diabaikan hanya untuk kepentingan ekonomi sesaat.

Kalau ditanya, apa pentingnya BIOLOGI. mari kita bertanya bagaimana kita bisa makan duren, bagaimana kita makan nasi, bagaimana mangrove sepanjang pantai utara jawa bisa bertahan, siapa yang menyebarkan biji hingga ke puncak gunung, siap yang memangsa ngengat dan nyamuk di malam hari,

jangan hanya bertanya berapa uang yang akan kita peroleh dengan peduli aspek biologi.

Hitung saja, berapa uang harus disiapkan untuk membeli pestisida untuk membasmi 200.000 ekor ngengat, berapa uang diperlukan untuk membayar orang menyerbuki bunga DLONGOP agar kita bisa makan duren …, berapa uang harus disiapkan untuk bayar orang nanam pohon di puncak gunung….,

Oleh: Cahyo Rahmadi/ http://cavernicoles.wordpress.com/2008/11/24/komentar-atas-artikel-karst-bukan-bahan-baku-semen/

Leave a Response

You must be logged in to post a comment.