SELF-HELP DAN PENGURANGAN RISIKO BENCANA

January 23rd, 2014  |  Published in Chamber

Peningkatan kapasitas kepada legislatif dan eksekutif 

Sejak tahun 2013, kejadian bencana turun drastis bila dibandingkan dengan tahun 2012. Dalam catatan Platform Nasional, kejadian bencana pada tahun 2013 sampai bulan November 2013 turun sebesar 47%. Namun, dari jumlah penurunan yang hampir setengahnya tersebut, terdapat fakta terbalik dari penurunan angka kejadian yang ada, dimana jumlah korban dan kerugian harta benda akibat bencana justru mengalami peningkatan sebesar 42%. Jumlah korban meninggal dan hilang meningkat dari 483 jiwa menjadi 690 jiwa.

 

Kerusakan rumah juga mengalami peningkatan dari 54,626 menjadi 74,246. Padahal alokasi anggaran untuk kebencanaan yang dikelola langsung oleh BNPB di tahun 2013 mencapai Rp 1,3 triliun. Ini belum lagi memasukkan data kebencanaan yang dikelola oleh kementerian atau lembaga lain selain pemerintah.

 

Kondisi ini menggambarkan peningkatan alokasi anggaran untuk kebencanaan ternyata belum secara signifikan berkontribusi pada peningkatan kapasitas masyarakat dalam menghadapi bencana. Selain alokasi anggaran, meningkatnya kerentanan masyarakat bisa jadi disebabkan oleh semakin buruknya perencanaan program di daerah yang lebih mengarah pada program-program yang tidak berwawasan berkemandirian dan keberlanjutan (sustainable self-help). Perencanaan di daerah lebih berorientasi pada keuntungan partai politik, perusahaan atau golongan tertentu saja (money oriented).

 

Dari sudut pandang aspek sustainable self-help, pembangunan didefinisikan sebagai proses yang merdeka menuju individu yang merdeka. Kemandirian dan keberlanjutan menjadi kekuatan utama dalam integrasi upaya pengurangan risiko bencana ke dalam pembangunan. Kekuatan tersebut akan memunculkan perencanaan yang partisipatif dengan melibatkan semua pihak untuk memiliki, mengaplikasikan, dan membudayakan praktik-praktik pengurangan risiko bencana yang didukung oleh pembuat kebijakan. Perencanaan di daerah yang berorientasi pada keuntungan semata, secara ototmatis tidak akan memiliki aspek sustainable self-help.

 

Perencanaan Pembangunan dan Bencana

Dari pola pembangunan money oriented, walaupun terkadang berguna dalam jangka pendek, pada akhirnya akan lebih cenderung menimbulkan sikap ketergantungan. Selain itu, perencanaan pembangunan yang tidak memperhatikan keberlanjutan akan memperburuk kondisi kerentanan sosial masyarakat dalam bentuk konflik dan kekerasan.  Sebagaimana diketahui, dalam aspek sosial masyarakat yang majemuk telah terdapat dinamika yang terstruktur. Aspek ini terstratifikasi atas berbagai kelas dan golongan dan kepentingan. Semuanya saling terkait membentuk dinamika yang khas. Hal ini akan mempengaruhi program dan kebijakan pembangunan. Negara atau daerah dalam berhubungan dengan masyarakatnya terkadang mengalami bias dinamika terstruktur yang kental tersebut. Perilaku sosial negara  atau daerah akan dipengaruhi oleh atribut kekuasan dan kepentingan di daerah dan elit suatu perusahaan. Tidak mengherankan bila kemudian negara dan atau pimpinan daerah lebih antusias berhubungan dengan elit partai politik dan perusahaan dibandingkan berghubungan langsung dengan masyarakatnya. Pada akhirnya, bukanlah pembangunan yang berwawasan pengurangan risiko bencana yang akan diperoleh, melainkan memancing bencana lain seperti konflik sosial, kegagalan teknologi, dan wabah penyakit di masyarakat.

 

Sebahagian bukti ini jelas terdokumentasi dengan baik, menurut Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), kekerasan berlatar sengketa agraria di tahun 2013 telah menewaskan 21 jiwa, 30 korban tembak, 130 luka penganiayaan, dan 239 warga ditahan. Tak kalah penting lagi bukti  semburan gas bercampur lumpur panas  PT Lapindo Brantas Inc. pada 29 Mei 2006, sering terjadi konflik antar warga yang menjadi korban. Potensi munculnya konflik horizontal juga ditengarai dalam kategori tinggi. Tidak hanya melibatkan korban lumpur, tapi konflik lumpur lapindo ini berpotensi meluas hingga wilayah pesisir laut Selat Madura. Bukti lain adalah potensi bahaya penyakit. Sebagai contoh, dimana telah ditemukan 79% merkuri yang mencemari Kabupaten Aceh Jaya. Entah sadar atau tidak memahami dengan jelas, penyakit yang ditimbulkan akibat pencemaran merkuri diketahui menyerang sistem saraf dan dapat menyebabkan kematian. Dampak merkuri juga dapat diwariskan kepada anak-anak yang dilahirkan oleh lelaki atau wanita yang berasal dari kabupaten ini. Dipastikan anak-anak yang dilahirkan akan dalam keadaan cacat.

 

Tanpa mempertimbangkan aspek sustainable self-help di dalam masyarakat, maka perencanaan pembangunan justru dapat menjadi bumerang bagi eksistensi pemerintahan itu sendiri. Dengan mengabaikan aspek ini, ketahanan masyarakat yang dibutuhkan dalam pengurangan risiko bencana sulit untuk direalisasikan baik untuk saat ini maupun untuk masa depan. Pemerintah akan kehilangan legitimasi sosialnya dan cenderung sebagai pemicu bencana di masyarakat.

 

Hal ini menjelaskan, bahwa konsentrasi anggaran kebencanaan yang berfokus pada upaya penguatan kelembagaan pemerintah seperti Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) dan peningkatan kesiapsiagaan masyarakat belum dapat dikatakan berhasil dan berdaya guna. Konsentrasi ini sepatutnya dipindahalokasikan saja untuk meningkatkan kapasitas pemangku kepentingan pada upaya pengurangan risiko bencana. Diharapkan dengan adanya peningkatan kapasitas kepada mereka-mereka yang dikenal sebagai pemangku kepentingan baik legislatif (yaitu anggota-anggota dewan yang terhormat)  maupun eksekutif (yaitu dari Presiden hingga Bupati) pada upaya pengurangan risiko bencana, akan terlahir perencanaan pembangunan yang berwawasan pengurangan risiko bencana.

 

Harapan di Tahun 2014

Di tahun 2014 ini, pemerintah diminta untuk menghentikan konsentrasinya pada peningkatan pengurangan risiko bencana di level perangkat kerja kabupaten dan. Sebenarnya, masyarakat tidak akan tertinggal jauh dari kapasitas yang diharapkan, asalkan program-program yang berorientasi pada peningkatan kapasitas pemimpinnya ini memiliki cantolan yang pasti. Baik itu menjadi prasyarat RPJM ataupun Rencana Kerja Satuan Kerja yang tidak bersifat sektoral dan tidak terhubung. Antar program untuk ketangguhan daerah ini akan memberikan kontribusi signifikan dalam pengurangan kerentanan masyarakat.

Leave a Response

You must be logged in to post a comment.